Kamis, 26 Maret 2009

Amnesia

Siapa kamu? Aku tak mengenalmu...
Dimana kamu? Aku tak melihatmu..
Apa yang kamu lakukan? Itu bukan dirimu..
Aku bersamamu tapi aku tak merasakanmu..
Aku dirimu tapi kau bukan lagi aku..
Puluhan tahun jejak yang kau tinggalkan terhapus sejenak sapuan..
Langkahmu kini timpang, semakin mendekati pusaran..membenamkan..
Menolehlah ke belakang, aku bayanganmu..
Menolehlah ke belakang, kau tahu kau telah hilang..
Menengadahlah keatas..ada langit memayungimu..
Pejamkan mata dan rasakan hangatnya mentari yang menerangimu..
Berpijaklah..rasakan butir-butir tanah yang menahanmu..
Dimana kamu? Aku tak melihatmu..
Apa yang kamu lakukan? itu bukan lagi, bukan lagi dirimu..
Kembalilah..sisiri tepian, butir pasir akan menyadarkanmu..
Kembalilah..panas mentari akan membangkitkanmu..
Kembalilah..seperti yang dulu..dirimu, diriku..yang dulu.
Dedicated to my self..i just lost in the day light..i aint me anymore..

Rabu, 25 Maret 2009

Calo

Kata-kata calo selalu didefinisikan dengan hal-hal yang kurang baik. Calo SIM, calo TKI, calo tanah, calo kendaraan, dan calo-calo lainnya. Calo, salah satu pekerjaan yang menjual jasa prinsipnya sama dengan penyedia jasa lainnya. Mereka menyediakan jasa dan mendapat imbalan sejumlah uang.
Meski sama-sama menyediakan jasa, calo tetap dianggap berbeda dengan biro penyedia jasa lainnya. Seorang karyawan biro jasa akan dengan senang hati menyebutkan identitas mereka. Tetapi calo akan melakukan dengan sembunyi-sembunyi. Bahkan, menyembunyikan identitasnya. Boleh jadi hal itu dilakukan karena mereka menyediakan jasa yang sesuai peraturan dilarang. Calo SIM contohnya.
Karena image calo yang jelek itu pula saya langsung tersulut ketika ada salah seorang teman lama berkomentar tentang profesi wartawan. "wartawan itu ibarat calo. memperjual-belikan berita," katanya tentang profesi wartawan.
Aku yang merasa tidak pernah melakukan hal itu, otomatis langsung marah. Entah karena temanku yg terlalu bodoh hingga tidak bisa membedakan calo berita dan wartawan yg benar, ataukah karena memang terlalu banyak wartawan yang melakukan praktik jual berita hingga masyarakat awam menilai demikian. Betapa hinanya..menyedihkan.
Sms yang kuterima dini hari itupun langsung membuat mataku terbelalak. Capek dan ngantuk yang menderaku langsung sirna. Dengan semangat aku langsung menjelaskan perbedaan antara wartawan sungguhan dan calo berita. Perdebatan kecil melalui sms langsung terjadi.
Beruntung temanku yang dungu itu masih kenal sifatku. Pergaulan selama tiga tahun di SMA membuatnya bisa mengerti diriku. Lantas satu kalimat penghibur ku terima. "Meski banyak wartawan yang seperti itu, aku tahu kamu tidak seperti itu," hiburnya.
Kalimat yang menurutnya mungkin menghiburku, justru menghentakku. Aku tidak bisa tidur. Beberapa tayangan film tengah malam ku lahap sambil merenung tentang profesi yang kugeluti sekarang. Sudah sedemikian hinakah wartawan? sudah sedemikian rendahkah wartawan? kenapa hal ini terjadi? siapa yang memulai? bagaimana mengakhiri?
Sepintas kemudian aku membandingkan perkataan temanku dengan situasi di pemkab Kediri sekarang. Aku bisa merasakan kebenaran perkataannya. Disini wartawan dianggap sama, diperlakukan sama. Doyan uang, peminta-minta, bahkan setengah memaksa. Tak heran, pandangan orang terhadap wartawan sama rendahnya dengan peminta-minta.
Bagaimana cara memberitahu mereka bahwa ada yg berbeda?
Mengapa tidak pernah ada yang meronta?
Bagaimana dengan yang sebelumnya?
Ataukah memang sama?BENCI!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Kamis, 19 Maret 2009

Kiai

Kata kiai sudah akrab ditelinga saya sejak kecil. Maklum rumah saya di Blitar, berada sekitar satu kilometer dari pesantren kecil. Pak kiai di pesantren tersebut selalu dipanggil abah oleh warga sekitar. Tak terkecuali saya yang dulu pernah ngaji disana (walaupun sesampainya di pondok selalu tertidur karena ceramahnya panjang).
Dimata penduduk sekitar desa saya, abah'e menjadi panutan. Mulai memilih hari idul fitri, memilih kades, dan pilihan-pilihan lainnya. Jangan heran kalau desa lain belum Iduf Fitri tapi desa saya sudah lebaran karena abah bilang sudah syawal.
Ibu saya yang baru jadi anggota muslimat ikut-ikutan latah. Apapun kata abah'e selalu diikuti. Katanya kalau mengikuti kiai selamat. Belakangan saya mulai risi karena ibu saya ikut-ikutan meminum air dari pesantren setempat yang sepengetahuan saya airnya sangat kotor. Sumurnya juga kurang terawat. Ibu saya nekat meminum air yang katanya mengandung do'a. Pengultusan kiai itu ternyata tak hanya terjadi di desa saya yang memang pedalaman. Tetapi juga di Kediri, kota yang ditumbuhi banyak pesantren.
Seolah terkontaminasi dengan kondisi kota, kiai disini jauh lebih canggih dari abah di desa saya. Kalau abah di desa saya hanya menyampaikan kandidat kades yang didukung melalui pengajian di pondok. Demikian juga saat terjadi pemilihan bupati.
Tapi kiai di Kediri lebih canggih. Mulai mengumpulkan para alumni untuk menghimpun kekuatan sampai membuat woro-woro berupa tausyiah agar santri dan para alumninya memilih kandidat yang dimaksud.
Dengan kegiatan tambahan yang dimiliki, pak kiai menjadi sangat sibuk. Seringkali pergi ke luar kota. Bukan untuk dakwah, tapi untuk konsolidasi! bertemu dengan para kiai untuk menyukseskan kandidat mereka. Pesantren ditinggalkan. Dakwah hanya diisi oleh pengurus pesantren yang seringkali dipanggil gus...gus... atau bahkan diisi oleh kang...dan kang...
The right man on the right place, saya melihat para kiai sudah terlalu jauh keluar dari peranannya. Memasuki ranah politik. Para poliTIKUS juga dengan senang hati menyambut mereka. Sebab kiai mampu memberi kontribusi signifikan bagi mereka..
Tapi sampai berapa lama praktik ini bisa bertahan?berapa lama para santri akan tunduk pada kiainya? termasuk ketika doktrin yang diberikan sang kiai berada diluar ketentuan agama? berapa lama pula masyarakat akan percaya dan mengikutinya?
Ibarat sebuah kurva, sesuatu hal akan mencapai titik kulminasi. Jika sudah tiba pada titik tersebut sudah tidak bisa naik lagi. Tetapi, perlahan-lahan akan turun dan terus turun hingga titik terdasar.
Saya mulai melihat kecenderungan itu. Setidaknya hal tersebut terlihat pada pilgub beberapa waktu lalu. Biasanya, jika seorang kiai memerintahkan untuk memilih kandidat A, maka 100 persen santri akan menurutinya. Tetapi, saat itu hanya sekitar 80 persen santri yang menurut sisanya memilih kandidat lain.
Sesuai kecenderungan kurva, saya yakin jumlah itu akan terus bertambah hingga akhirnya tidak ada sama sekali yang menurut pada kiai. Tentunya diluar ajaran agama yang disampaikan. Apakah saat itu kiai masih dikerubuti para poliTIKUS?apakah masih banyak pejabat yang meminta 'restu'?
Nyuwun duko mbah yai..kembalilah ke pesantren sebelum semua itu terjadi..

Rabu, 18 Maret 2009

Untuk Penguasa

Berbaju Safari warna gelap kau melangkah tegap.
Beberapa orang dengan baju senada senantiasa mengikutimu dari belakang.
Pandangan matamu lurus ke depan. Sesekali kau lambaikan tangan pada orang di sekeliling.
Senyum tipis selama beberapa detik menyembul.
Selebihnya kau lebih suka bersembunyi dibalik kaca mata hitam.
Penguasa..semua orang mengikutimu, memberi semua maumu, menakutimu.
Penguasa..semua orang tunduk padamu, mengharapkanmu, menghormatimu.
Tapi tahukah kalau itu tidak padamu? sadarkah kamu?
Tahukah kamu itu bukan kamu? tidak untukmu?
Itu untuk kekuasaanmu, untuk wewenangmu, untuk semua yang ada padamu.
Terbayangkah kamu tanpa semua itu?
Terbayangkah tanpa itu bagaimana dirimu?bagaimana mereka?
Senja hampir tiba, malam mulai menjelang, tapi ku lihat kau tetap terjaga.
Kau tampak gelisah melihat sekeliling lalu menata langkah.
Kursi goyang dan tempat tidurmu yang rapi tak kau tempati.
Kau tampak sibuk kesana kemari, terus menari.
Tak sadarkah semakin malam akan semakin sunyi?
Tak tahukah iringan musik sebentar lagi berhenti?
Puluhan penari latar di belakangmu juga akan berlari?
Kenapa tidak memilih berhenti dan menata hati.
Kau bisa gunakan waktumu untuk merebah di ranjang wangi.
Sebelum semuanya terlambat, sebelum tenaga yang kau punya lewat.
Sadarlah, kau bukan segalanya, yang kau punya tidak selamanya.
Menolehlah, tersenyumlah....

Selasa, 17 Maret 2009

Sexi Melanie

 Seiring dengan perkembangan jaman teori pemasaran ternyata telah berkembang pesat. Untuk menentukan sebuah produk bisa kompetitif di pasar ternyata tak hanya dilihat dari unsur harga dan kualitas. Dua unsur itu ternyata tak bisa menjamin produk bisa laku keras di pasar. Terutama untuk produk dengan kompetitor yang beragam.
Dewasa ini 'kemasan' produk justru menjadi ujung tombak agar produk mereka bisa bersaing di pasaran. Berbagai cara untuk mempercantik kemasan terus dilakukan. Tak hanya kemasan produk, tetapi juga kemasan 'penjualnya'. Seperti yang saya lihat di kantor KPU siang tadi. Dua Sales Promotion Girl (SPG) berbusana sexi (baju tanpa lengan dan rok yang panjangnya sekitar 20 senti meter) dengan sepatu terbuka high heels. Dipadu dengan paras cantik dan kulit putih mulus, dua gadis itu berlenggak lenggok laksana diatas catwalk masuk ke kantor KPU.
Sepintas saya berpikir kalau mereka marketing dari salah satu hotel di Jatim (biasanya marketing hotel juga dandan sexi). Tapi setelah melihat dua slop rokok di tangan mereka, saya baru menyadari kalau mereka adalah SPG rokok.
Dalam hati saya langsung istighfar dan mengagumi strategi pemasaran pabrik rokok tersebut. Betapa hal itu menjadi strategi penjualan yang mengena. Bagaimana para pria tidak akan tergoda melihat dua gadis cantik merayu di depan mereka. Saat itu, teori pemasaran yang mengedepankan kualitas dan harga yang kompetitif tak lagi berlaku.
Setelah basa-basi sekitar 15 menit, dua gadis itu bisa menjual masing-masing dua slop rokok yang mereka bawa. Tak peduli harga rokok yang mereka tawarkan harganya bisa dua kali lipat di pasaran. Betapa tidak, kalau beli di pasar kita tidak bisa melihat tubuh sexi, bau parfum wangi, dan paras SPG yang cantik.
Jika untuk sekedar produk rokok mungkin hal itu bisa dipahami. Lalu bagaimana dengan produk-produk lainnya. Produk obat misalnya. Sekarang ini para sales obat juga tak kalah cantiknya. Mereka sangat telaten menunggu praktik dokter hingga larut malam. Yang membuat saya cemas, jika sampai dokter yang bersangkutan terpikat dengan SPG seperti halnya para pembeli rokok. Bagaimana nasib para pasien? bagaimana kesehatan mereka? berhati-hatilah...

Senin, 16 Maret 2009

I Love U

Love is about cares...
Love is about trusted..
Love is about thinking...
Love is about alive time...
Love is about you and me, about us...
I love you...means everything of you...
I love you...means the whole of my life will full of you...
I love you...means no more man in my life but you...
I love you...means our life, our future, and everything of...
Dedicated to Kul-kul.....

Santri Juga Manusia...

Begitu mendengar kata santri yang terbayang di otak pastilah sarung, peci, dan baju koko. Tetapi, saya melihat hal berbeda kemarin. Tepatnya saat sedang iseng nonton film wanted. Di kota besar lainnya mungkin film ini sudah out of date, tapi di Kediri baru diputar sejak beberapa hari lalu. Mengenaskan memang, tapi apalah daya..hehe.
Ada yang menarik perhatian saya saat sedang mengantri tiket. Yakni ketika melihat segerombolan anak berusia belasan tahun beberapa kali berlarian kesana kemari membuat gaduh. Tak hanya di antrian area, belakangan saat saya ke toilet baru tahu kalau mereka juga bermain disana. Beberapa pengunjug yang berada di toilet berteriak karena lampu tiba-tiba padam saat mereka di dalam. Suara teriakan perempuan di sebelah ruangan juga terdengar karena mereka masuk ke toilet ladies.
Melihat banyak korbannya berteriak mereka bukannya takut tapi malah tertawa bersama-sama kegirangan. Saat itu saya tidak menyangka kalau mereka santri dari salah satu pesantren di Kediri. Penampilan mereka malam itu jauh dari kriteria santri yang saya tulis diatas. Memakai celana selutut, kaos oblong, dan sandal jepit. Saya baru sadar setelah saya perhatikan lebih dalam (saya sudah terbiasa cuek sih..) ternyata ada beberapa anak yang berkalungkan sarung dengan dilipat kecil. Saya semakin yakin setelah beberapa orang yang saya tanya membenarkan kalau mereka adalah santri. Rupanya sejak Minggu (15/03) lalu mereka libur selama seminggu.
Masa liburan bagi para santri ibarat lepas dari penjara. Mereka bisa melakukan apa saja, dimana saja, tanpa pengawasan. Ada yang memilih berjalan kaki meski jarak pesantren dan kota sekitar lima kilometer. Untuk santri yang dewasa biasanya bepergian menggunakan ojek sepeda onthel.
Ibarat orang puasa, liburan adalah Idul Fitri bagi mereka. Masa kebebasan. Jiwa muda mereka yang terkekang lantas menggelora. Tak heran jika cara untuk mengekspresikan bermacam-macam. Ada yang shopping ke pertokoan, sekedar jalan-jalan, dan sebagian memilih ke bioskop meski harus patungan beli tiket.
Menyadari kalau pemuda yang berlarian itu para santri sayapun menjadi mahfum. Biarkanlah mereka menikmati masa liburan mereka, masa kebebasan mereka. Tetapi lantas saya bertanya-tanya, film apa yang menarik minat mereka? rupanya film horor indonesia yang sekarang sedang booming juga disukai. Setidaknya saya lega karena mereka tidak suka film porno. Santri juga manusia..terlepas dari rutinitas mempelajari berbagai kitab salaf dan pengetahuan agama, mereka juga butuh hiburan seperti saya, anda, kita semua.....
'Selingan' itu saya yakini lambat laun akan membuat mereka berubah. Setidaknya, mereka tidak akan tampak 'berbeda' ketika berada di komunitas di luar pesantren..tak perlu berlarian di tempat antrian atau menggoda pengunjung di toilet. Ah..namanya juga manusia. Saya dan anda pasti pernah melakukan hal serupa. Jika tidak sekarang, itu pasti terjadi belasan atau puluhan tahun yang lalu...

Kamis, 12 Maret 2009

Pak Rateman yang tak punya teman

Begitu memasuki kantor DPRD Kabupaten Kediri siang itu, aku sangat tersentak. Aku tidak sedang melihat presiden pejabat lainnya. Bukan pula seorang jenderal. Tetapi saya melihat lelaki tua sedang duduk di salah satu kursi ruang tunggu DPRD Kabupaten Kediri. Usianya sekitar 85 tahun.
Ada beberapa hal yang membuat aku langsung tertarik dan memperhatikannya. Selain usianya yang sudah uzur, pak Rateman, demikian yang tertulis di KTP yang dibawa lelaki itu, tampak sangat papa. Baju safari berwarna coklat muda dipadu celana katun berwarna biru muda yang sudah kumal, menggambarkan jelas kalau dua baju itu bukan hasil pembeliannya. Melainkan diberikan seseorang. Rambut dan kumisnya mulai memutih, matanya juga terus menerus berair tanda kalau sudah menderita rabun.
Melihat sang kakek sedang sendirian, aku lantas menghampirinya. "Sedang apa disini pak?" tanyaku dengan suara yang cukup keras (menurut pengalaman, orang setua pak Rateman pendengarannya sudah berkurang). Semula pak Rateman hanya mendongak mendengar pertanyaanku, tapi setelah kuulangi beberapa kali, dia lantas menunjukkan beberapa lembar surat tanah (petok D) yang tak kalah kumal dengan bajunya.
Rupanya, Rateman yang tinggal di Purwoasri, wilayah Kabupaten Kediri paling barat, nekat datang ke kantor wakil rakyat untuk mengadukan ketidakadilan yang dialaminya. Sambil membeberkan beberapa lembar berkas yang berisi surat keterangan desa setempat berikut luas tanahnya, Rateman mengatakan kalau tanahnya direbut tetangganya. "Tanah kula niki dipek tonggo kula (tanah saya itu diminta tetangga saya)," kata Rateman.
Sengketa tanah itu telah terjadi sejak belasan tahun yang lalu. Rateman yang kala itu emosi dan melempar jendela kaca tetangganya dengan batu bahkan sempat dilaporkan ke polisi. Dengan usia yang senja, pengadilan memberikan kelonggaran tahanan luar dan vonis bebas. "kula niki nate diukumne (Saya ini pernah dipenjara)," lanjutnya.
Setelah melalui berbagai hal, Rateman serasa mendapat angin setelah salah seorang anggota DPRD dari daerahnya mengatakan kalau surat tanah petok D miliknya itu surat sah. Rateman bahkan dijanjikan akan didampingi pengurusannya. Mendapat kabar tersebut, Rateman yang 'terluka' langsung bersemangat. Diapun nekat datang ke kantor DPRD dengan naik angkutan umum. Tanpa ditemani anak atau tetangganya. "Anak kula wuta. Bojo kula sampun mati (anak saya buta, istri saya sudah meninggal)," kisahnya sambil menunjukkan KTP istrinya.
Setelah berbasa-basi aku langsung meninggalkan Rateman karena memang hari itu aku ada janji wawancara dengan salah seorang anggota DPRD. Selesai wawancara, aku langsung beralih ke kantor Pemkab yang hanya beberapa puluh meter dari kantor DPRD.
Aku langsung terhenyak begitu sekitar pukul 12.00, ternyata Rateman masih duduk di kursi yang sama dan tetap sendirian. Ternyata, setelah duduk di di kursi itu selama empat jam, tidak ada seorang anggota DPRD pun yang menemuinya. Melihat kasus tanah itu merupakan bidang komisi A, aku langsung memberitahu wakil ketua komisi A. Tapi apa jawabannya, dia justru bilang kalau dirinya tidak mempunyai kewenangan. Melainkan kewenangan ketua komisi.
Mendapat jawaban itu aku langsung marah. Muak. Benci. "wakil rakyat tak berguna!" pikirku.
Menyadari kalau Rateman tidak akan mendapat penyelesaian, aku langsung menghampiri lelaki tua itu. Aku lantas meminta lelaki tua itu pulang ke rumahnya. Sebab, jika tidak segera pulang tidak ada lagi angkutan umum yang lewat. Dengan bercucuran air mata dia lantas mengemasi berkas-berkasnya dan melangkah keluar kantor setelah kuselipkan selembar uang ke sakunya.
Melihat kepergian Rateman, hatiku terasa sangat perih? sebagai wartawan yang ngepos di kantor DPRD, bisa dibilang aku sangat faham dengan mereka....
Apakah itu fungsi wakil rakyat?dimana mereka saat rakyat kecil membutuhkannya?rakyat yang telah menaikkan derajat mereka hingga duduk di kursi empuk DPRD? dalam hati aku terus mengutuk...
Betapa pendidikan sangat penting, betapa pengetahuan sangat berguna bagi seluruh rakyat Indonesia. Sehingga, kapasitas anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD tingkat II bisa jauh lebih baik lagi. Tidak perlu lagi ada Rateman..Rateman lainnya..yang hanya bisa bercucuran air mata saat haknya ditindas..saat hak miliknya dirampas...Indonesiaku..inilah potretmu..