Minggu, 04 November 2012

Mimpi Usai, Saatnya Kembali ke Kehidupan Nyata



Pesta demokrasi telah usai. Sekitar 1,2 juta masyarakat Kabupaten Kediri telah menentukan pilihannya. Masyarakat yang selama beberapa bulan ini terbuai mimpi akan mudah dan sejahteranya kehidupan mereka lima tahun ke depan, harus kembali terjaga. Kembali menghadapi kehidupan nyata.
          Selama tiga bulan terakhir, pak tani yang sejak beberapa tahun lalu selalu mengeluh kesulitan pupuk, seolah mendapat keajaiban. Begitu musim tanam tiba, pupuk lancar, bahkan ada yang rela memberikan secara cuma-cuma. Para ibu rumah tangga yang semula mengeluh mahalnya harga sembako, tiba-tiba mendapat satu paket cuma-cuma. Mereka pun tersenyum gembira. Rejeki nomplok itu tak hanya datang sekali, tapi beberapa kali dari orang yang berbeda pula.
          Hampir seluruh lapisan masyarakat merasakan ‘kesejahteraan’ selama beberapa bulan ini. Para pedagang di pasar yang semula dagangannya seret, tiba-tiba mendapat bantuan uang hingga ratusan ribu. Para peternak mendapat penyuluhan, dan tentunya sejumlah uang. Segelintir PNS juga mendapat janji berupa promosi jabatan.
          Mei ini memang menjadi pesta bagi seluruh masyarakat Kabupaten Kediri. Semua lapisan masyarakat senang. Semua masyarakat menggantungkan mimpi. Mempercayai janji-janji yang saking banyaknya seolah membuat mereka jadi begitu terbuai.
          Saya lantas teringat ekspresi salah satu teman saya yang datang ke  rumah dengan wajah bersungut-sungut beberapa hari menjelang pemilihan bupati. “Piye? Omahmu diwenehi paket sembako opo ora? (Gimana? Rumahmu diberi paket sembako apa tidak?),” tanyanya dengan nafas terengah-engah.
          Saya yang memang jarang berada di rumah, hanya bisa tersenyum mendapat pertanyaan itu. Saya pun menimpali dengan jawaban enteng. “Kita kan kontraktor (masih ngontrak, Red), tapi kalau mereka nggak ngasih ke kita itu justru benar. Soalnya kalau dapat paket sembako, pasti saya laporkan ke panwas biar kita dapat berita baru,” jawab saya sambil tertawa keras setengah bercanda.
          Rupanya, teman saya begitu kecewa setelah mendengar istrinya tak kunjung di panggil untuk mengambil paket sembako yang konon dibagikan di lingkungannya. Dia risih karena sang istri beberapa kali mendapat cerita dari beberapa tetangga yang mendapat paket sembako.
          Keesokan harinya, saat pencoblosan dia tersenyum melihat jari saya yang terlihat ada bekas tinta. “Lho, kamu nyoblos? Kan nggak dapat apa-apa?” katanya. Saya kembali tertawa, apalagi melihat ekspresi wajah teman saya yang memang lucu itu. “Lho ini bukan masalah sembako. Ini masalah pemimpin,” jawab saya meledek yang langsung dibalasnya dengan pukulan.
          Ya, sebagian masyarakat kita memang masih mengartikan demokrasi sebagai sarana untuk mengeruk keuntungan masing-masing. Penyakit pragmatis yang menyerang akut di seluruh lapisan masyarakat itu pun dimanfaatkan dengan cukup baik oleh para calon yang membutuhkan dukungan.
          Masyarakat yang butuh bibit diberi bibit. Yang butuh sembako diberi sembako. Yang butuh pupuk murah diberi pupuk gratis. Yang butuh jabatan juga dijanjikan promosi untuk pos yang lebih tinggi dan strategis. Jurus yang cukup manjur dan terbukti cukup efektif. Tak heran, praktik seperti ini terjadi hampir di seluruh daerah. Mulai level pemilu di kabupaten, provinsi, hingga pemilihan presiden.
          Terlepas dari bagaimana proses demokrasi itu berjalan, masyarakat Kabupaten Kediri telah menentukan pilihannya. Haryanti hampir dipastikan akan menjabat bupati periode 2010-2015 mengisi jabatan yang ditinggalkan Sutrisno, suaminya.
          Mimpi telah usai, saatnya masyarakat Kabupaten Kediri menatap masa depan mereka. Saatnya masyarakat terbangun dan berusaha mewujudkan mimpi-mimpinya. Sang pemimpin pun juga harus bersiap-siap untuk mewujudkan janji-janjinya, mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat Kabupaten Kediri yang telah memberinya kuasa.
          Anggota DPRD yang menjadi representasi wakil rakyat juga harus bisa menjalankan fungsinya. Mengawasi proses pemerintahan di Kabupaten Kediri. Mendahulukan kepentingan rakyat dibanding kepentingan golongan dan sejumlah elit. Mewujudkan demokrasi pada arti yang sebenarnya.
           

Mencari Abdi (Keluarga) Sejati



Selama beberapa hari terakhir, presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali menjadi bahan perbincangan. Tak hanya media cetak dan elektronik, tetapi masyarakat juga ramai membicarakan keluhan  tentang gaji orang nomor satu di Indonesia itu yang tak kunjung naik selama tujuh tahun.
          Jika dicermati secara mendalam, sebenarnya SBY tak bermaksud meminta kenaikan gaji dalam curhatnya tersebut. Meski demikian, sebagai kepala negara, tetap saja pernyataan SBY dipandang tak etis. Sebab, meski gajinya belum naik selama bertahun-tahun, tetapi jumlah gaji yang mencapai puluhan juta plus berbagai fasilitas sebagai presiden, tentu jauh berbeda dibanding mayoritas masyarakat Indonesia yang masih masuk kategori miskin.
          Sebagai pemimpin negara, curhat SBY tersebut memang tak selayaknya diungkapkan di depan publik. Posisi SBY sebagai kepala negara tentu berbeda dengan manajer atau direktur perusahaan yang kinerjanya dihargai berdasar rupiah yang didapat melalui gaji.
          Seperti halnya janji yang diungkapkan saat kampanye, yakni melakukan pengabdian kepada bangsa dan negara, tidak sepatutnya SBY membicarakan masalah gaji. Pengabdian tidak bisa diukur dengan imbalan yang didapat. Apapun bentuknya, termasuk gaji.
          Tetapi, trend itu seolah sudah merambah ke seluruh wilayah. Tak hanya pejabat tinggi negara, tetapi juga pejabat di daerah. Para pejabat yang dalam masa kampanye mengobral janji mengabdikan diri untuk rakyat, praktiknya tak lepas dari sekadar motif ekonomi. Yakni mencari keuntungan yang sebesar-besarnya untuk diri sendiri, keluarga, dan kelompoknya.
          Tak sekadar menyoal masalah gaji, tetapi wujudnya bisa bermacam-macam, Mulai mencarikan posisi strategis kelompok atau pendukungnya, hingga menguasai sejumlah sumberdaya yang tujuan akhirnya untuk kesejahteraan sendiri. Slogan menyejahterakan rakyat yang diucapkan saat kampanye seolah sudah dilupakan.
          Di level yang lebih rendah, wabah itu juga sudah mendarah daging. Mereka berusaha mencari pendapatan setinggi-tingginya dengan jabatan yang diperoleh. Caranya pun bermacam-macam. Yang sedang ngetrend adalah melalui perjalanan dinas. Dengan sistem at cost  atau berdasar biaya yang dikeluarkan, para pejabat ini memang tak bisa lagi leluasa mendapatkan cashback  seperti sistem lungsum yang berlaku sebelumnya. Ketentuan ini tak hanya berlaku bagi para PNS, tetapi juga anggota DPRD.
          Tetapi, toh ibarat peribahasa masih banyak jalan menuju Roma, selalu ada saja peluang atau cara menyiasati aturan tersebut. Para pejabat yang sejak awal berniat mengabdi untuk rakyat itu tetap saja bisa menyiasati untuk bisa mendapat keuntungan yang lebih.
          Sesuai aturan, hal tersebut memang diperbolehkan alias tidak melanggar. Tetapi, seperti halnya pernyataan SBY, hal tersebut tentu tidak etis dilakukan ditengah beban ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat kebanyakan.
          Sebagai pejabat yang mendapat gaji dari APBD atau uang rakyat, tentunya akan lebih bijak jika mereka bisa melakukan penghematan. Kata pengabdian yang sejak awal mereka ucapkan bisa diwujudkan dengan menyisakan anggaran untuk program yang bermanfaat bagi masyarakat. Misalnya, kesehatan, pendidikan, dan sektor pertanian yang masih membutuhkan anggaran lebih besar.
          Tetapi, niat pengabdian memang hanya berlaku saat kampanye. Ketika sudah menjabat, niat itu dengan sendirinya akan berubah. Sebab, untuk mendapatkan jabatan itu mereka juga harus mengeluarkan uang dalam jumlah yang besar.
          Hukum ekonomi pun kembali berbicara. Mereka berusaha mendapatkan keuntungan melebihi modal yang dikeluarkan untuk mendapatkan jabatan tersebut. Kepentingan rakyat yang seharusnya diperjuangkan, tak lebih dari komoditas transaksional di awal. Otomatis, semuanya berakhir ketika sang kandidat sudah mendapatkan jabatannya.
 Jika demikian, pantaskah mereka disebut abdi negara atau abdi rakyat jika praktiknya mereka tak mengabdi untuk masyarakat? Lalu, salahkah jika masyarakat yang terlanjur putus asa bersikap pragmatis dan berusaha mencari keuntungan dari sedikit peluang yang mereka miliki setiap lima tahun sekali?
Masyarakat mungkin memang sudah jengah dengan praktik yang terjadi selama ini. Maka, tak heran jika mereka juga ikut-ikutan mengoptimalkan satu-satunya peluang yang dimiliki. Ibarat hukum ekonomi, jumlah permintaan yang melebihi penawaran akan membuat harga melambung. Itu pula yang mereka lakukan, penawar tertinggi akan mendapatkan suara dan otomatis akan menang. Lingkaran setan yang menyesatkan dan menyengsarakan ini belum juga disadari oleh masyarakat.

PNS, Ring Basuki Rahmat, dan Ring Toko Emas



Jika anda pergi ke sejumlah toko emas di Kota Kediri dan berkata mencari ‘ring’, maka karyawannya akan reflek langsung mencarikan beberapa model cincin yang lazimnya digunakan untuk tunangan atau lamaran. Kata yang berasal dari bahasa Inggris ini memang berarti cincin. Tetapi, sejumlah toko emas mengartikannya sebagai cincin yang nyaris tanpa aksesori tambahan hingga hanya berupa bulatan melingkar.
Kalaupun ada motif, hanya berupa goresan pada lingkaran cincin. Sehingga, bentuknya tetap berupa cincin polos. Jenis ini memang banyak digunakan untuk acara tunangan atau lamaran. Tapi, saya mendapat arti baru dari kata ‘Ring’ beberapa minggu lalu. ‘Ring’ yang lazimnya berarti cincin, menjadi arti lain bagi sejumlah kalangan di Kota Kediri.
Kata ‘Ring’ menjadi begitu sensitif karena sama sekali bukan berarti cincin. ‘Ring’ bagi sejumlah kalangan merepresentasikan kelompok. Belakangan ini, kata ‘Ring’ juga merepresentasikan sebuah gerakan untuk menghimpun dukungan.
Kosa kata baru itu sebenarnya saya dapat saat sedang iseng makan di sebuah warung dekat pemkot Kediri. Saat itu, dua pria berseragam PNS dengan santainya mengatakan tentang munculnya ring-ring baru di pemkot Kediri. Saat itu, saya memang tak terlalu mendengarkan karena fokus mengisi perut yang sedang lapar.
Saya pun tak begitu menghiraukan keluhan dua PNS itu yang menyebut keberadaan ring-ring itu membuat kinerja PNS menjadi tak berarti. Seberapa pun baiknya kinerja seorang PNS, tak akan berkorelasi dengan karirnya di birokrasi jika tak masuk ke dalam ring yang dimaksud.
Meski sepintas perbincangan mereka menarik, saya belum tertarik untuk ikut nimbrung karena perut saya sedang meminta perhatian khusus. Tetapi, saya baru mengingat kembali perbincangan dua PNS itu saat beberapa hari lalu bertemu salah seorang teman yang juga PNS pemkot.
Seperti halnya dua PNS di warung itu, teman saya mengeluhkan keberadaan ring- ring di pemkot Kediri yang membuatnya ‘malas’ untuk bekerja. Kurang lebih, teman saya berkata begini, “Sekarang ini, kalau mau dapat posisi yang enak, naik pangkat, harus masuk ring Basuki Rahmat. Kalau di luar itu, percuma,” keluhnya.
Meski mengerti maksudnya, saya yang memang baru beberapa bulan kembali mendapat tugas liputan di Kota Kediri pura-pura bertanya tentang definisi  ‘ring Basuki Rahmat’ yang dia maksud. Bukannya menjawab artinya, teman saya yang juga salah seorang kepala seksi (Kasi) di salah satu satuan kerja di Kota Kediri itu kembali nyerocos tentang korelasi kinerja PNS dengan jabatan yang didapat. “Lihat dia, hari ini memang masih belum dapat apa-apa. Tapi, lihat saja bulan depan pasti sudah dapat posisi yang lebih bagus karena masuk ring Basuki Rahmat,” lanjutnya dengan bersungut.
Masih menurut teman saya itu, sekarang ini banyak teman-temannya yang sibuk membuat program yang ujung-ujungnya bisa menyenangkan ring Basuki Rahmat. Harapannya, dengan cara demikian mereka bisa masuk ‘ring’ yang untuk sementara waktu ini menjanjikan kesenangan dan kesejahteraan itu.
Untuk membungkusnya, mereka pun membuat berbagai program yang mengatasnamakan rakyat. Program yang melibatkan masyarakat banyak. Tetapi, ujung-ujungnya, program itu mempunyai tujuan terselubung untuk kepentingan mereka sendiri. “Contohnya apa?” Tanya saya penasaran.
Lagi-lagi, bukannya menjawab pertanyaan saya, dia malah melanjutkan omelannya. Untuk melampiaskan kekesalannya, dia dan beberapa PNS yang tak masuk ‘ring’, memilih untuk bekerja semaunya. Toh, sebagus apapun kinerjanya, sewaktu-waktu dia bisa digeser ke posisi yang sama sekali jauh dari bidangnya.
PNS, sesuai tugasnya, seharusnya menjadi abdi negara. Artinya, mengabdikan dirinya untuk kepentingan rakyat yang memang menjadi tugas negara. Praktiknya, sekarang telah terjadi pergeseran arti dan tujuan, terutama pada segelintir PNS yang ingin mencapai tujuannya dengan cara yang instan.
PNS yang seharusnya mengabdikan diri pada kepentingan rakyat justru terbagi dalam beberapa ring, atau kotak-kotak sesuai kepentingannya. Jangankan tugas untuk mengabdikan diri pada rakyatnya. Sebagian justru sibuk menghalalkan segala cara untuk menyenangkan atasannya.
Kontrol dari legislatif seolah tak bergigi. Berbagai rekomendasi yang keluar dari hearing yang dilakukan, hanya berbentuk tumpukan saran yang tak ada kelanjutannya. Jika sudah demikian, lagi-lagi rakyat yang dirugikan. Sebab, masing-masing sudah fokus untuk mendahulukan kepentingan masing-masing. Menjadi abdi keluarga sendiri, abdi partai, abdi kepentingan sendiri, dan abdi-abdi lainnya.
Makanya, ketika teman saya tadi tiba-tiba putus asa. Mupus. Saya pun tak bisa menyalahkannya. Sebab, birokrasi sekarang, memang telah erat bercampur dengan politik sebagai konsekuensi pucuk pimpinan yang ditentukan oleh jalur politik. Meski demikian, jika didasari dengan niat tulus untuk memajukan Kota Kediri, seharusnya tak boleh ada keputusasaan seperti yang dialami teman saya tadi.
Setelah berbicara panjang lebar, saya lantas kembali mempertegas identitas ring Basuki Rahmat yang sejak awal dihujatnya. “Ring Basuki Rahmat kuwi sapa?”. Wajahnya yang semula sumringah, kembali cemberut. “Golek’ono dewe, dadi wartawan mosok goblok terus. Ra pinter-pinter!” sahutnya sambil meninggalkan saya.

Apakah Anda Bukan Koruptor?



Hari antikorupsi yang diperingati serentak Jumat (09/12) lalu menjadi perenungan tersendiri bagi saya. Bukan karena hari itu media cetak, online, dan televisi menyiarkan  berbagai aksi demonstrasi hampir di seluruh Indonesia. Termasuk, salah satunya di Kediri. Tetapi, saya merasa tersentuh justru setelah saya menerima pesan yang dikirim salah seorang teman pada Jumat pagi lalu.
Kurang lebih, bunyi pesan yang dikirim sekitar pukul 07.00 itu demikian, "  Kalau hari buruh, diperingati kaum
  buruh. Hari Ibu, diperingati kaum Hawa. Hari pahlawan, diperingati oleh
  bangsa yg masih mau mengenang
  pahlawannya. Hari kemerdekaan, hari kartini, hari aids,hari apa saja pasti diperingati. Pertanyaannya, siapa yg seharusnya memperingati hari anti Korupsi ? Gimana cara memperingatinya ? Siapa yang di kenang, siapa yang mengenang, apa yang dikenang? Saya  masih Korupsi , apakah saya wajib memperingati hari anti korupsi ? APAKAH ANDA BUKAN PELAKU TIPIKOR ?".
Sepintas, pesan itu memang terdengar konyol. Sama seperti pesan humor yang setiap hari saya terima. Apalagi, pesan yang dikirim oleh teman saya itu bisa jadi juga merupakan forward pesan dari temannya yang lain. Tetapi, tak ayal kalimat terakhir di pesan teman saya yang juga anggota korps baju cokelat itu langsung membuat saya merenung. Apakah anda bukan pelaku tipikor (tindak pidana korupsi)?
Jika klasifikasi korupsi yang dimaksud adalah mengorupsi anggaran negara, uang rakyat, saya dengan lantang bisa berkata tidak! Sebab, saya memang bukan pengguna anggaran. Sejauh ini tak mempunyai kesempatan bermain-main dengan anggaran negara. Uang yang dikumpulkan dari pembayaran pajak rakyat, juga dari penggalian potensi kekayaan daerah atau negara.
Dilihat definisinya, korupsi yang berasal dari bahasa latin corruptio berarti busuk, rusak, menyogok. Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan.
Apakah lingkup korupsi sesempit itu. Menurut saya tidak, perbuatan orang, bukan pejabat publik sekalipun, bisa tergolong korupsi.
Misalnya saya. Dulu waktu masih sekolah sering me-mark-up harga buku agar mendapat uang saku lebih. Sekarangpun, saya tidak yakin untuk menyebut diri saya bukan koruptor. Minimal saya masih sering mengorupsi waktu dengan terus menerus mengulur waktu dalam beraktifitas.
Belum selesai merenung, teman saya kembali mengirim pesan. "Saya koruptor, makanya saya memilih tidak memperingati hari antikorupsi. Saya di rumah saja, menonton televisi. Saya ingin melihat, siapa inspektur upacaranya, pesertanya, apa mereka juga bukan koruptor?".
Kali ini saya tidak bisa menahan tawa. Setidaknya, teman saya itu telah berbuat jujur. Mengakui jika dirinya koruptor. Entah apa yang dikorupsinya. Seolah termotivasi dengan pesan yang baru saja dikirim teman saya tadi, saya yang semula ingin bermalas-malasan langsung berangkat mandi dan melakukan peliputan di sejumlah instansi.
Saat melintas di beberapa jalan protokol, saya melihat banyak spanduk tentang pencegahan korupsi dan ajakan untuk mencegah tindakan korupsi. Seperti pesan yang dikirim teman saya tadi. Apa pemasangnya tidak pernah korupsi? Apa orang yang memerintahkan memasang spanduk itu tidak korupsi? Apakah mereka sudah benar-benar tegas memberantas korupsi?.
Pertanyaan itu hanya bisa saya jawab dengan senyum. Kali ini, saya memberi jempol pada teman saya tadi yang berani mengakui jika dirinya koruptor (meski hanya pada saya). Saya akan lebih takjub lagi jika teman saya yang juga aparat itu mau dengan tegas memberantas segala tindak pidana. Termasuk korupsi.
Bukankah kondisi negara kita, Kota Kediri tercinta ini akan lebih baik lagi jika aparat dan pejabatnya mau interospeksi diri dan melakukan tugasnya dengan sepenuh hati. Bukan hanya sekadar memasang spanduk karena kewajiban. Perintah atasan. Tetapi, isi dari spanduk yang dipasang tak pernah dilakukan. Bahkan ditentang. Apakah saya koruptor? Saya jawab iya.

Teror Vs Korupsi, Mana yang Lebih Mengerikan?


Jika banyak masyarakat yang merasa senang dengan penembakan dua teroris yang selama beberapa bulan  terakhir menghantui Solo, saya termasuk salah satu di antaranya. Penembakan pos polisi yang terjadi beruntun tersebut secara otomatis membuat saya sebagai masyarakat awam semakin waspada dalam menjaga keamanan diri sendiri.
Bagaimana tidak, teroris tak menjadikan kelompok tertentu sebagai sasaran target. Tetapi, mereka dengan berani menyerang aparat negara yang nyata-nyata sedang bertugas. Sialnya, beberapa operasi yang direncanakan bisa berjalan sukses.
Makanya, jika dua tersangka teroris yang ditembak detasemen khusus (Densus) 88 antiteror di Solo Jumat (31/8) malam lalu memang benar-benar pelaku teror Solo, saya termasuk orang yang lega.
 Setidaknya, polisi bisa mengungkap kasus teror yang belakangan menimbulkan tanda tanya besar di masyarakat terkait motifnya. Selama ini masyarakat memang sering disuguhi tontotan tentang kesuksesan Densus 88 dalam menangkap para terduga teroris.
 Sayangnya, seolah adu cepat dengan gerakan unit khusus ini, sel-sel teroris juga berkembang sedemikian cepat. Hingga, tetap saja ada pelaku teror  yang siap menebar ancaman baru.
Teroris seperti artinya, memang berhasil menebar teror pada masyarakat. Meski aksi mereka menimbulkan keresahan, tetapi ada banyak teror lain yang lebih berbahaya.
 Bagi saya, teror yang paling berbahaya tapi  tak begitu disadari dampaknya adalah korupsi. Seperti halnya teroris, sel teror satu ini telah menyebar luas.
 Jika definisi korupsi hanya dibatasi pada dampak yang menimbulkan kerugian negara, mungkin saya dan kebanyakan anda tak termasuk dalam kategori koruptor. Sebab, tak masuk dalam kelompok orang yang mengelola anggaran negara.
Tetapi, apakah orang yang menikmati uang dari hasil korupsi tidak bisa disebut ikut korupsi atau koruptor? Apalagi, secara nyata mereka tahu jika uang tersebut adalah hasil korupsi? Makanya, pernyataan wakil menteri hukum dan hak azazi manusia (Wamenkumham) Deny Indrayana yang menuai kontroversi terkait pernyataannya jika pengacara koruptor adalah koruptor itu sendiri cukup menggelitik.
Itu mungkin hanya sebagian contoh saja. Bagaimana jika saya atau anda menerima pemberian yang juga hasil korupsi. Bagaimana jika saya atau anda melakukan tindakan yang secara sadar telah merugikan banyak orang?  Apakah saya atau anda juga layak disebut koruptor?
Secara langsung mungkin tidak, tapi secara tidak langsung kita telah ikut menikmati hasil korupsi. Secara otomatis, saya dan anda sekalian telah menumbuh kembangkan budaya korupsi yang memang telah mengakar.
Secara tidak sadar, saya, anda, kita semua, telah terbelenggu pada satu jenis teror ini. Larut di dalamnya, memanfaatkannya.
Memberantas korupsi tidak hanya menjadi pekerjaan rumah (PR) para penegak hukum saja. Mengharapkan korupsi hilang dari negara kita dengan sistem hukum yang sudah terbentuk, bukanlah solusi.
Seperti halnya para teroris yang terus mengembangkan sel-selnya, para koruptor juga selalu mencari celah untuk bisa lepas dari jerat hukum. Baik dengan menyewa pengacara handal, menyuap hakim, atau cara-cara lainnya.
Kita juga tak bisa bergantung pada produk hukum yang ada untuk memberantas korupsi. Sebab, pembuat produk hukum itu sendiri juga punya kepentingan untuk bisa lepas dari jerat korupsi.
Lalu, kepada siapa kita bergantung dalam pemberantasan teror korupsi? Seperti diskusi awak redaksi Radar Kediri Kamis (30/8) lalu, ada salah seorang teman yang saking putus asanya dengan korupsi yang merajalela menyebut pemberantasan korupsi hanya bisa dilakukan dengan mengubah cara pandang kita terhadap korupsi. Jika selama ini korupsi dipersepsikan sebagai hal yang negatif, mindset kita diminta mengubah persepsi korupsi sebagai hal yang positif karena memang semua sudah melakukannya. Apakah memang hanya itu caranya?

UU Keterbukaan Informasi Publik yang Belum Bertaji


UU Keterbukaan Informasi Publik yang Belum Bertaji//
Begitu undang-undang (UU) Keterbukaan Informasi Publik (KIP) No. 14/2008 disahkan empat tahun lalu, saya termasuk orang yang menyambutnya dengan suka cita. UU itu ibarat lentera yg menjadi penerang jalan ketika saya membutuhkan informasi dari berbagai institusi publik.
Undang-undang yang mengusung semangat transparansi, keterbukaan, itu memberi akses seluas-luasnya bagi masyarakat, termasuk pers untuk mendapat informasi dari institusi publik. Termasuk instansi pemerintahan. Menurut UU itu, instansi publik wajib memberikan informasi kepada masyarakat, termasuk pers. Bagi instansi yang menutupi informasi publik, bisa diadukan ke komisi informasi publik (KIP), atau bahkan diproses secara hukum.
Sayangnya, saat ini, masih saja ada institusi yang menutup erat akses informasi dengan berbagai alasan. Di antaranya, dengan berlindung pada alasan kerahasiaan instansi. Gilanya lagi, ada yang beralasan mereka tak bisa memberikan informasi karena taat sumpah, tak akan membocorkan informasi yang bersifat rahasia. Khawatir akan membuka aib instansi tempat mereka bekerja. Ada lagi yang mengaku tak bisa memberikan informasi karena takut dengan atasannya.
Meminjam istilah teman, alasan segelintir pejabat itu sangat menggelikan. Rupanya, mereka lupa jika keberadaan mereka untuk mengabdi pada rakyat. Digaji menggunakan uang rakyat. Jika demikian halnya, bukankah mereka harus mempertanggungjawabkan pekerjaan mereka pada rakyat?
Sebagai pertanggungjawaban, bukankah sudah selayaknya tak ada hal yang perlu dirahasiakan dari rakyat?
Sayangnya, banyak pejabat yang lupa peran dan tanggung jawab mereka. Setelah duduk sejumlah kursi empuk, mereka lupa siapa yang menggaji mereka. Maka tak heran jika mereka membuat aturan sendiri, menetapkan kebijakan sendiri. Salah satunya, membatasi akses informasi di instansinya.
Kondisi ini tentu saja terlihat aneh ditengah era keterbukaan yang semangatnya terus didengung-dengungkan oleh semua pihak. Meski, jika dilihat secara seksama, pemerintah belun sepenuh hati menerapkannya.
Misalnya, dokumen anggaran pendapatan belanja daerah (APBD). Sebagai salah satu peraturan daerah (perda), dokumen yang berisi rincian pendapatan dan belanja daerah selama setahun itu seharusnya disosialisasikan kepada masyarakat. Selain agar masyarakat mengetahui peruntukkan anggaran mereka, juga sebagai bentuk pertanggungjawaban.
Tetapi, ternyata itu bukanlah hal yang mudah bagi saya. Bagaimana dengan masyarakat kebanyakan? Saya yakin, jika disurvei, hanya segelintir warga saja yang tahu atau pernah membaca APBD. Padahal, seharusnya pemerintah berkewajiban menyosialisasikannya pada masyarakat.
Kurang transparansinya pemerintah juga terlihat dari belum ditindaklanjutinya UU Keterbukaan Informasi Publik. Dalam UU tersebut, daerah diwajibkan membentuk Komisi Informasi Publik (KIP). Kenyataannya, empat tahun setelah UU tersebut diundangkan, KIP baru ada di tingkat provinsi. Sedangkan di tingkat kabupaten/kota masih belum dibentuk.
Hal ini otomatis menyulitkan masyarakat yang ingin mengadukan perilaku pejabat publik yang tak memenuhi ketentuan dalam undang-undang tersebut. Di banding beberapa daerah lain, Kota Kediri relatif lebih terbuka terkait penyampaian informasi pada masyarakat. Yang mengherankan,  masih ada saja beberapa instansi yang membuat kebijakan sendiri terkait penyampaian informasi pada masyarakat. Entah, apa alasan yang ada dibalik kebijakan tersebut.
Saya lantas teringat perkataan wali kota Surabaya Tri Risma Harini dalam salah satu acara talk show di stasiun televisi swasta Rabu (18/4) lalu. Dalam acara tersebut, Risma membeberkan konsepnya dalam mengatur pemerintahan di Kota Surabaya.
Kala itu, Risma menegaskan meski dirinya wali kota, tetapi dia menyamakan dirinya sebagai pembantu rakyat. Makanya, dia tak segan turun ke jalan untuk menangani langsung kesulitan rakyat. Perbuatannya, sekaligus memberi contoh kepada bawahannya untuk tak segan-segan turun ke lapangan. Bukannya berada di balik meja setelah mendapat status pejabat.
Jika Risma saja yang berstatus wali kota mempunyai semangat yang luar biasa untuk tetap bersahaja, dekat dengan rakyat, dan terbuka, rasanya malu jika ada pejabat yang statusnya masih dibawahnya justru bertindak seolah-olah menjadi raja. Lupa pada rakyatnya, lupa pada pertanggungjawaban pada orang yang menggajinya.

Uang Adalah Pelacur yang Tak Pernah Tidur


Judul diatas tentu tidak bermaksud menyamakan uang dengan para pelacur. Meski saya seringkali mendengar pengakuan dari para tersangka pelaku kriminal yang langsung membelanjakan uang yang didapat di tempat pelacuran, judul itu juga tidak bermaksud menyamakan pelacur dengan uang yang semata-mata hanya benda.
Judul diatas adalah salah satu petikan ucapan Michael Douglas yang memerankan Gordon Gekko dalam film Wall Street: Money Never Sleeps. Film yang baru saya tonton beberapa hari lalu itu memberi kesan yang sangat dalam. Kisah seorang Gordon Gekko, seorang pialang saham senior di Wall Street yang harus dipenjara puluhan tahun karena praktik kotor yang dilakukannya di bursa.
Film ini tak hanya menggambarkan seputar perdagangan saham di Wall Street Amerika. Saya justru menangkap pesan yang lebih dalam tentang ambisi seseorang untuk menjadi nomor satu. Yang terbaik. Apalagi ukurannya jika bukan uang.
Gekko yang baru keluar dari penjara seolah kehilangan segalanya. Pialang saham nomor wahid di Wall Street tiba-tiba saja menjadi orang yang remeh. Tak dianggap. Bahkan, oleh kawan-kawannya sesama pialang di Wall Street.
Kondisi yang menyakitkan bagi orang yang pernah mendapat pujian karena kesuksesan dan kepintarannya. Maka, diapun melakukan berbagai cara untuk kembali meraih posisinya menjadi yang terbaik. Termasuk, menipu uang milik putrinya yang disimpan di luar negeri untuk bisa kembali ke Wall Street.
Gekko pun berhasil. Dia kembali menjadi pialang yang diperhitungkan di Wall Street. Tentunya, Gekko juga kembali mendapat uang yang berlimpah. Seperti sebelumnya, Gekko kembali melakukan praktik pencucian uang melalui bursa untuk mengembalikan uang yang diambil dari putrinya.
Tak salah jika Gekko bisa melakukan apapun demi uang. Apalagi, jika dia menyamakan uang dengan pelacur yang tak pernah tidur. Bayangkan jika anda seharian bersama dengan pelacur yang tak sedikitpun memejamkan matanya. Tentu anda hanya akan merasakan hal-hal yang indah.
Praktiknya, meski uang dan pelacur adalah dua hal yang jauh berbeda. Keduanya memang mempunyai sedikit persamaan. Salah satunya, sama-sama menawarkan kenikmatan. Dengan uang anda bisa membeli apapun yang diinginkan. Bisa mewujudkan hal-hal yang semula hanya dalam bayangan.
Maka, jangan heran jika banyak orang melakukan praktik apapun untuk mendapatkan uang. Kita pun harus mahfum jika ada banyak pejabat yang belakangan menghiasai layar televisi karena tersangkut kasus korupsi. Menghabiskan uang negara untuk kepentingan pribadi.
Apakah praktik tersebut hanya terjadi di pemerintahan pusat yang memang nilai anggarannya mencapai triliunan rupiah? Praktik tersebut merata hingga ke daerah. Sejumlah pejabat di Kabupaten/ Kota ramai-ramai dieksekusi  Dijebloskan ke penjara karena putusan perkara korupsi mereka sudah final.
Mereka dijebloskan ke penjara bisa jadi karena memang selama persidangan majelis hakim menemukan bukti-bukti yang cukup terkait keterlibatan mereka dalam kasus korupsi. Tapi, pertanyaannya apakah mereka hanya melakukan korupsi sendiri? Berapa uang negara yang mereka pakai?
Dalam beberapa kesempatan, saya sempat berbincang dengan beberapa pejabat yang tersangkut kasus dugaan korupsi. Jawaban mereka hampir sama. Rata-rata mereka mengaku tak menghabiskan uang negara. Apalagi, yang nilainya sama dengan jumlah kerugian negara yang dituduhkan. "Aku iki mek ra sepiro. Tapi, ya wis tak lakonane ae (tak seberapa uang yang saya pakai. Tapi ya sudah, saya jalani saja)," kata salah seorang pejabat yang kini berada di penjara.
Lalu, siapa yang memakai uang negara dalam jumlah yang lebih besar? Seolah seragam, beberapa pejabat yang saya temui kompak menjawab dengan gelengan kepala. Meski demikian, dari mimik wajah mereka menyiratkan identitas sang pemakai dana besar itu.
Memang, tanpa bukti yang kuat aparat hukum yang sebenarnya juga mengetahui keterlibatan mereka otomatis tak bisa menjeratnya dengan pidana. Apalagi, menjebloskan mereka ke penjara. Praktik tersebut menurut saya tak lepas dari doktrin bawahan yang terlalu penurut dengan atasannya. Apapun dilakukan untuk memenuhi keinginan atasannya. Meski, hal yang melanggar hukum sekalipun.
Sistem birokrasi yang pimpinannya ditentukan secara politis memang membentuk sistem yang seperti itu. Staf yang dinilai tak loyal (tak mau menuruti kemampuan atasan) akan tersisihkan. Idealisme tak laku dalam sistem seperti ini. Maka, yang muncul adalah staf yang harus selalu menuruti kemauan atasannya. Sebab, jika mereka menolak taruhannya adalah jabatan. Tersisihkan melalui mekanisme yang disebut mutasi. Terbungkus dalam kedok penyegaran atau turn of duty.
Bagi saya, semuanya tak terlepas dari uang. Orang cenderung melakukan berbagai cara karena terpikat dengan kenikmatan yang dijanjikan uang. Memang, uang tak selalu dibelanjakan ke pelacuran. Tetapi, menurut Gordon Gekko, kenikmatannya hampir sama.

Black Campaign, antara Peluang dan Jebakan


Perbincangan di salah satu kantin di Kota Kediri  sekitar pukul 10.00 kemarin tiba-tiba menghangat. Itu terjadi saat seorang teman tiba-tiba menunjukkan foto stiker di ponsel yang berisi tulisan "...adalah penghancur Persik".
Komposisi warna stiker itu memang cukup mencolok. Didominasi warna hijau dan merah. Ditambah tulisan yang bernada provokasi, mata yang memandang setidaknya akan berminat untuk melanjutkan membaca. Bagi yang sangat tertarik, akan mengabadikannya. Setidaknya seperti yang dilakukan teman saya itu. 
"Suasanane wis panas. Mulai akeh black campaign (suasananya sudah panas. Mulai banyak yang kampanye hitam)," kata teman itu tersenyum sambil menunjukkan gambar yang baru dijepretnya dengan kamera ponsel.
Berbagai tanggapan langsung muncul setelah foto itu diperlihatkan. Satu teman lainnya langsung menimpali. Dia mengaku sudah melihat stiker itu sejak Jumat (02/11) lalu. Satu teman lainnya justru mengaku melihat pria sedang membagi-bagikan stiker itu.
Saya yang kemarin siang tengah konsentrasi menyantap menu lodeh plus telor dadar sebagai sarapan pagi tak betah untuk tak menimpali. Kantin itu pun langsung berubah jadi forum diskusi tak resmi.
Pemilihan Wali Kota (Pilwali) Kota Kediri baru akan berlangsung 29 Agustus 2013 nanti. Kegiatannya berbarengan dengan pelaksanaan Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jatim. Tetapi, gaduhnya sudah terasa sejak awal 2012.
Peredaran stiker yang dicap sebagai black campaign itu semakin menambah panas cuaca Kota Kediri yang memang belum diguyur hujan deras hingga kemarin.
Black campaign bukan hal baru. Hampir di setiap ajang pemilihan umum (pemilu), selalu ada saja tim yang memilih cara ini untuk mempengaruhi persepsi masyarakat dalam memilih kandidat. Setidaknya, pada pilwali 2008 lalu juga ada salah satu kandidat yang terserang black campaign.
Entah, black campaign yang mengusung isu korupsi itu efektif atau tidak, tetapi kandidat yang terserang black campaign itu akhirnya tak bisa memenangi pilkada. Sebaliknya, dalam pilkada DKI Jakarta Oktober lalu, pasangan Jokowi-Ahok yang diserang black campaign secara bertubi-tubi nyatanya bisa mengungguli Fauzi Bowo sebagai incumbent.
Ibarat dua sisi mata uang, kampanye hitam memang memberikan peluang untuk mempengaruhi persepsi masyarakat. Apalagi, jika isu yang diangkat menyangkut hajat hidup orang banyak plus dilengkapi dengan data-data yang akurat untuk menyerang lawan.
Tetapi, seringkali black campaign malah berubah menjadi kekuatan bagi pihak lawan karena isu-isu yang dilontarkan kurang mengena. Dampaknya, masyarakat justru menaruh simpati karena menganggap kandidat itu menjadi korban fitnah dan perlakuan yang tidak adil.
Bagaimana dengan isu Persik yang disebut dalam stiker yang marak beredar mulai kemarin? Sebagai kandang Macan Putih, saya yakin tak sedikit warga Kota Kediri yang mencintai klub kebanggaan Kediri ini. Prestasinya yang beberapa tahun lalu sempat moncer hingga terus tenggelam karena alasan minimnya anggaran pasti menjadi perhatian khusus bagi mereka.
Seberapa banyak? Saya tidak bisa menghitung secara pasti. Tetapi, Persik pernah dijadikan ikon dalam pilwali 2008 lalu. Hasilnya, kandidat tersebut juga belum bisa unggul meski hanya kalah tipis.
Bagaimana dengan pilwali 2013 nanti? Sebagai orang yang tak memahami teori politik plus strategi pemenangan, saya memang tak bisa memprediksi. Tetapi, sebagai orang yang selama beberapa tahun terakhir memotret kehidupan masyarakat Kediri dalam berbagai reportase, timbul rasa keprihatinan yang mendalam.
Hiruk pikuk situasi yang terjadi sekarang seolah menunjukkan pilwali yang baru akan digelar Agustus 2013 nanti itu, akan digelar besok. Semua perbincangan di tingkat warung kopi, RT, sampai ke forum resmi pun berujung ke pilwali.
Setiap moment digunakan semua pihak untuk meraup keuntungan masing-masing. Kemasannya juga beragam. Alasannya, aji mumpung menjelang pilwali.
Penggalangan dukungan juga terjadi di mana-mana.
Tak hanya di kalangan masyarakat. Tetapi juga di kalangan birokrasi. Ada seorang teman yang sampai bingung menempatkan diri. Pergi ke kanan kasihan dengan teman. Pindah ke kiri takut tak mendapatkan posisi.
Belum lagi mereka harus berdebar-debar dengan acara rutin mutasi. Pemberitahuan melalui pesan pendek yang terkadang bisa menjungkir balikkan karir mereka.
Dengan berbagai fenomena itu, saya melihat black campaign yang sekarang sudah mulai muncul itu dilakukan karena semakin tingginya tembok yang dibangun sebagai sekat. Bisa jadi, cara itu ditempuh karena cara lain dianggap tak ada cara lain lagi yang paling efektif.
Satu hal yang seharusnya dipahami oleh para kandidat yang hendak maju dalam pilwali. Jangan pernah beranggapan masyarakat itu terlalu bodoh dengan memilih kandidat tertentu hanya karena diberi beras, uang, dan kemudahan lainnya.
Meski perilaku pragmatis tak terelakkan lagi, tetapi masyarakat masih mempunyai nurani. Cara-cara yang santun tentu akan lebih mengundang simpati bagi masyarakat yang masih mempunyai hati.

Selasa, 06 Maret 2012

Aku Bajingan, Kamu Maling, Mereka Rampok

Bagaimana warna putih itu? atau seberapa pekatkah hitam?
Jika putih kamu padankan dengan kain kafan atau putih sama halnya awan, jawabanmu masih salah.
Demikian juga jika hitam kamu padankan dengan tanah, mendung, atau benda pekat lainnya.
Hitam dan Putih sekarang sama saja. Bukan karena rabun atau kelainan mata lainnya.
Tetapi, dua warna itu memang sekarang tak memiliki perbedaan yang mencolok.
Keduanya membaur, melebur. Menjadi satu paduan. Maka jangan heran jika hitam terlihat putih atau putih yang tiba-tiba jadi hitam.
Dalam kegelapan, semuanya akan menjadi hitam. Dalam terang benderang dan sorot lampu tajam, hitampun bisa mendadak terang.
Aku... melihatnya dalam kebimbangan. Mataku yang rabun semakin tak bisa membedakannya.
Semuanya terlihat sama. Si hitam dan putih sudah sedemikian eratnya, hingga mataku tak bisa lagi membedakan meski sudah kusambung dengan kaca mata.
Suatu kali, aku merasa berjalan dalam pekat. Ternyata, disana justru bermandi cahaya.
Kali lain, aku terpana dengan putih yang menyilaukan. Ternyata, hanya keruh yang menyesakkan...
Dua kenyataan itu membuatku tak percaya lagi dengan penglihatan. Mataku sama butanya dengan batinku......
Aku, kamu, dan mereka sepertinya sama.......
Aku bajingan, kamu maling, dan mereka rampok.......