Pesta demokrasi telah usai.
Sekitar 1,2 juta masyarakat Kabupaten Kediri telah menentukan pilihannya.
Masyarakat yang selama beberapa bulan ini terbuai mimpi akan mudah dan
sejahteranya kehidupan mereka lima
tahun ke depan, harus kembali terjaga. Kembali menghadapi kehidupan nyata.
Selama tiga bulan terakhir, pak tani yang sejak beberapa
tahun lalu selalu mengeluh kesulitan pupuk, seolah mendapat keajaiban. Begitu
musim tanam tiba, pupuk lancar, bahkan ada yang rela memberikan secara
cuma-cuma. Para ibu rumah tangga yang semula
mengeluh mahalnya harga sembako, tiba-tiba mendapat satu paket cuma-cuma.
Mereka pun tersenyum gembira. Rejeki nomplok itu tak hanya datang sekali, tapi
beberapa kali dari orang yang berbeda pula.
Hampir seluruh lapisan masyarakat merasakan ‘kesejahteraan’
selama beberapa bulan ini. Para pedagang di
pasar yang semula dagangannya seret, tiba-tiba mendapat bantuan uang hingga
ratusan ribu. Para peternak mendapat
penyuluhan, dan tentunya sejumlah uang. Segelintir PNS juga mendapat janji
berupa promosi jabatan.
Mei ini memang menjadi pesta bagi seluruh masyarakat
Kabupaten Kediri. Semua lapisan masyarakat senang. Semua masyarakat menggantungkan
mimpi. Mempercayai janji-janji yang saking
banyaknya seolah membuat mereka jadi begitu terbuai.
Saya lantas teringat ekspresi salah satu teman saya yang
datang ke rumah dengan wajah
bersungut-sungut beberapa hari menjelang pemilihan bupati. “Piye? Omahmu diwenehi paket sembako opo ora?
(Gimana? Rumahmu diberi paket sembako apa tidak?),” tanyanya dengan nafas
terengah-engah.
Saya yang memang jarang berada di rumah, hanya bisa
tersenyum mendapat pertanyaan itu. Saya pun menimpali dengan jawaban enteng. “Kita kan
kontraktor (masih ngontrak, Red), tapi kalau mereka nggak ngasih ke kita itu justru benar. Soalnya kalau dapat paket sembako,
pasti saya laporkan ke panwas biar kita dapat berita baru,” jawab saya sambil
tertawa keras setengah bercanda.
Rupanya, teman saya begitu kecewa setelah mendengar
istrinya tak kunjung di panggil untuk mengambil paket sembako yang konon
dibagikan di lingkungannya. Dia risih karena sang istri beberapa kali mendapat
cerita dari beberapa tetangga yang mendapat paket sembako.
Keesokan harinya, saat pencoblosan dia tersenyum melihat
jari saya yang terlihat ada bekas tinta. “Lho,
kamu nyoblos? Kan nggak dapat apa-apa?” katanya. Saya
kembali tertawa, apalagi melihat ekspresi wajah teman saya yang memang lucu
itu. “Lho ini bukan masalah sembako.
Ini masalah pemimpin,” jawab saya meledek
yang langsung dibalasnya dengan pukulan.
Ya, sebagian masyarakat kita memang masih mengartikan
demokrasi sebagai sarana untuk mengeruk keuntungan masing-masing. Penyakit
pragmatis yang menyerang akut di seluruh lapisan masyarakat itu pun dimanfaatkan
dengan cukup baik oleh para calon yang membutuhkan dukungan.
Masyarakat yang butuh bibit diberi bibit. Yang butuh
sembako diberi sembako. Yang butuh pupuk murah diberi pupuk gratis. Yang butuh
jabatan juga dijanjikan promosi untuk pos yang lebih tinggi dan strategis.
Jurus yang cukup manjur dan terbukti cukup efektif. Tak heran, praktik seperti
ini terjadi hampir di seluruh daerah. Mulai level pemilu di kabupaten,
provinsi, hingga pemilihan presiden.
Terlepas dari bagaimana proses demokrasi itu berjalan,
masyarakat Kabupaten Kediri telah menentukan pilihannya. Haryanti hampir
dipastikan akan menjabat bupati periode 2010-2015 mengisi jabatan yang
ditinggalkan Sutrisno, suaminya.
Mimpi telah usai, saatnya masyarakat Kabupaten Kediri
menatap masa depan mereka. Saatnya masyarakat terbangun dan berusaha mewujudkan
mimpi-mimpinya. Sang pemimpin pun juga harus bersiap-siap untuk mewujudkan
janji-janjinya, mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat Kabupaten Kediri yang
telah memberinya kuasa.
Anggota DPRD yang menjadi representasi wakil rakyat juga
harus bisa menjalankan fungsinya. Mengawasi proses pemerintahan di Kabupaten Kediri. Mendahulukan
kepentingan rakyat dibanding kepentingan golongan dan sejumlah elit. Mewujudkan
demokrasi pada arti yang sebenarnya.