Rabu, 28 November 2018

Teror Pagi Hari

Teror tidak melulu bom, kata-kata kasar atau ancaman. Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), segala usaha menciptakan ketakutan, kengerian dan ancaman, tergolong teror.
Yang menimpa saya pukul 09.00 tadi juga tak ubahnya teror. Hanya saja, pelakunya bukan perorangan atau golongan. Teror itu berasal dari ponsel android yang sudah menemani selama tiga tahun terakhir.
Bagi kuli tinta seperti saya, ponsel tak ubahnya suami kedua. Hampir semua aktivitas saya tergantung benda pipih ini.
Pekerjaan, aktivitas pribadi, semuanya ditangani si pintar ini. Karena keberadaannya, banyak hal-hal penting yang bisa dikerjakan dengan mudah. Cepat. Nggak ribet.
Maka, begitu sekitar pukul 09.00 tadi dia ngambek, kepala rasanya langsung kliyengan. Mood jadi jelek. Kebingungan.
Si Pipih tidak mau merespons perintah. Hanya terus berputar-putar dan mati-hidup secara terus menerus. Di-restart-pun tetap tidak berguna. Dia telanjur ngambek. Lelah.
Memang, Si Pipih layak cari perhatian. Bisa saja dia merasa sudah banyak mengerjakan tugas, banyak membantu, tetapi terus saja diperah. Diacuhkan. Hanya terus diminta bekerja. Bekerja dan bekerja.
Maka, pagi ini adalah momen yang pas. Meski dari tanggalnya tidak masuk kategori cantik, dia memilih beristirahat. Tidak mau diganggu.
Beruntung ngambeknya nggak lama. Sekitar 90 menit didiamkan, dicabuti baju dan aksesori yang memberatkannya, dia mulai bisa tersenyum.
Sekarang sudah mulai bisa diajak bekerja lagi. Giliran saya yang butuh kompres kepala. Meredakan pusing dan panasnya. Stok pepaya, buah naga dan mangga pemberian tetangga lumayan jadi pereda..


Minggu, 25 November 2018

Spion Itu Bernama Mak Yah!

Di berbagai film dan drama, spion alias mata-mata, digambarkan kerap menyamar. Mulai jadi pelayan restoran, pemandu lagu, pelacur, hingga jadi preman sekalipun.
Dalam praktik nyata, spion memang bisa saja menyamar menjadi apapun demi informasi. Beberapa teman ada yang menyamar jadi tukang tambal ban, jadi penjual kerupuk. Suatu kali juga pura-pura menambalkan ban motornya demi mendekati sasaran.
Penyamaran memang jadi salah satu metode, yang mau tidak mau dipilih, untuk bisa menggali data dan peristiwa secara mendalam. Penyamaran bisa dilakukan siapapun. Yang well trained sampai amatir. Hanya butuh tekad dan keberanian saja.
Jika saya dulu harus beberapa kali menyamar, menyaru menjadi apapun sesuai kebutuhan informasi, ada orang yang tanpa latihan apapun bisa mendapat banyak informasi. Saya menyebutnya spion di lingkungan kami.
Informasi apapun bisa didapat dari dia. Siapa, sedang apa dengan siapa? Ada apa dengan mereka? Bisa dijawab dengan gamblang. Akurat. A1.
Namanya Mak Yah. Pekerjaannya memijat. Kliennya beragam. Mulai kelas high-end sampai middle-low dilayani semua. Tentunya dengan daftar antrean panjang. Harus beberapa kali menelepon sebelum dia bisa datang.
Selama memijat sekitar 90 menit, klien biasanya ngobrol ngalor-ngidul. Kalau sedang memijat saya, Mak Yah saya pancing untuk cerita topik terhangat. Mulai tetangga di ujung selatan, timur dan barat.
Berbagai cerita yang digalinya dari obrolan memijat pun mengalir satu demi satu. Mulai yang paling bermutu sampai kelas rumpi ibu-ibu, bisa didapat lengkap.
Saya jadi berpikir, jika ke depan Mak Yah semakin menasional dengan klien-klien pejabat besar karena pijatannya yang superenak, bukan tidak mungkin dia akan jadi spion polisi, BIN atau bahkan KPK. Dia gudang informasi, gudang data yang valid. Mengagumkan...

Sabtu, 24 November 2018

Saturday Night ala Kota Patria

Mereka tersenyum, sebagian tertawa. Pura-pura bahagia
Mereka bersenda gurau dengan suara lantang. Memonopoli suara

Riuh rendah suara memenuhi lantai 3 Blitar Square. Banyak orang menyebutnya mal. Meski hingga beberapa bulan setelah launching, belum ada tenant besar di sana.
Hanya ada beberapa meja penjual aksesori dan penyedia permainan di lantai 1 dan lantai 2. Selebihnya, ruang kosong terlihat menganga. Bukan mal. Pusat perbelanjaan pun, sepertinya juga bukan. Pengunjung belum bisa belanja banyak barang di sana.
Dari tiga lantai bangunan di timur Lapas Blitar itu, konsentrasi pengunjung ada di lantai 3. Di situ pula tempat bioskop jaringan CGV berada.
Mereka di sana tak sepenuhnya untuk menonton. Melainkan banyak yang sekadar kongkow-kongkow sambil makan, minum di area pujasera.
Mereka tersenyum. Tertawa. Sepintas terlihat bahagia. Tidak sedikit yang terbahak. Berbicara keras hingga jadi pusat perhatian.
Entah bagaimana setelah semuanya selesai. Wajah mereka kembali cemberut. Rasa pusing kembali memenuhi kepala. Tugas-tugas menumpuk memanggil-manggil ingin disapa.
Ah... Sudahlah. Aku juga ingin seperti mereka. Pura-pura bahagia. Pura-pura lupa...

Senin, 05 November 2018

Gerutu Pembeli Kudapan

Gerutu Pembeli Kudapan//
Seperti biasa. Siang ini menjemput Bumi di sekolahnya. Setelah mampir toserba yang ternyata belum jadi toko serbaada, mampir ke warung siomay di dekat Pemkab Nganjuk.
Sambil menenteng tasnya, Bumi langsung menuju meja belakang. Bukan deretan belakang. Tapi benar-benar meja yang letaknya di belakang warung. Dekat meja tempat penjualnya membuat minuman.
Tapi sial, meja favorit kami sudah dipakai orang. Dari baju yang dipakai, satu pria bekerja di pemkab. Entah satunya lagi.
Dengan suara yang agak keras. Bahkan beberapa kali sangat keras. Mereka bergunjing tentang kepala daerah.
Sang pegawai pemkab membeberkan harapannya kepada pemimpin baru.
Pria berbaju kotak-kotak berbicara sebaliknya. Dia menunjukkan rasa pesimistis. Dasarnya, praktik kepemimpinan selama beberapa minggu terakhir.
Pembicaraan mereka mulai menarik. Saya yang sebelumnya fokus dengan siomay, mulai beralih. Tangan dan mulut pura-pura sibuk. Telinga fokus mendengarkan perbi cangan mereka.
Mulai menyoroti bidang kesehatan. Praktik di beberapa puskesmas. Hingga lelang proyek, yang menurut mereka, ke depan akan sama dengan kepala daerah sebelumnya. Semakin menarik.
Saya pun semakin menajamkan pendengaran. Sembari menerka. Siapa mereka? Tentunya tanpa sering menoleh melihat wajahnya. Menghindari kecurigaan.
"Wis ta, titenana. Engko mesti podo ae. Ra enek bedane," kata pria berbaju kotak-kotak itu sambil tertawa keras. "Lek wis ngono, aja disalahne engko mobilku tak tulisi dan*** No**."
Kesabaran saya membuahkan hasil. Akhirnya saya tahu siapa pria yang berbicara itu. Hanya berbekal petunjuk kata mobil. Barang kali orang Nganjuk jiga mudah menebak identitasnya.
Mobil sebagai media iklan memang banyak. Tetapi, mobil berisi kritikan untuk kepala daerah hanya satu. Pemiliknya pun sudah diketahui khalayak.
Saya jadi semakin tertarik. Sangat tertarik mendengarkan ceritanya. Apalagi, beberapa saat kemudian datang lagi satu pegawai. Kali ini bahasan mereka berubah. Tentang tender proyek yang terbuka. Mereka mengeluh karena akan ada banyak orang dari luar daerah ikut serta.
Pria berbaju kotak-kotak itu beberapa kali mengumpat. Entah apa maksudnya. Bumi yang beberapa kali mendengar umpatannya terlihat mulai nggak nyaman. Dia melirik saya tanda protes. Nggak suka.
Saya pun merespons dengan kedipan mata mengamininya.
Satu hal yang saya petik dari pembicaraan mereka. Apapun yang kita lakukan, tetap ada orang yang suka dan tidak suka. Acuhkan saja. Tetap kerjakan hal yang kita anggap baik. "Bunda, tadi kenapa orang itu bilang dan***?" Tanya Bumi sambil naik motor.
"Itu tandanya mereka bodoh. Hanya orang-orang bodoh yang berbicara seperti itu. Kalau orang pintar itu sopan," jawabku asal. (05/11/18)