Senin, 05 November 2018

Gerutu Pembeli Kudapan

Gerutu Pembeli Kudapan//
Seperti biasa. Siang ini menjemput Bumi di sekolahnya. Setelah mampir toserba yang ternyata belum jadi toko serbaada, mampir ke warung siomay di dekat Pemkab Nganjuk.
Sambil menenteng tasnya, Bumi langsung menuju meja belakang. Bukan deretan belakang. Tapi benar-benar meja yang letaknya di belakang warung. Dekat meja tempat penjualnya membuat minuman.
Tapi sial, meja favorit kami sudah dipakai orang. Dari baju yang dipakai, satu pria bekerja di pemkab. Entah satunya lagi.
Dengan suara yang agak keras. Bahkan beberapa kali sangat keras. Mereka bergunjing tentang kepala daerah.
Sang pegawai pemkab membeberkan harapannya kepada pemimpin baru.
Pria berbaju kotak-kotak berbicara sebaliknya. Dia menunjukkan rasa pesimistis. Dasarnya, praktik kepemimpinan selama beberapa minggu terakhir.
Pembicaraan mereka mulai menarik. Saya yang sebelumnya fokus dengan siomay, mulai beralih. Tangan dan mulut pura-pura sibuk. Telinga fokus mendengarkan perbi cangan mereka.
Mulai menyoroti bidang kesehatan. Praktik di beberapa puskesmas. Hingga lelang proyek, yang menurut mereka, ke depan akan sama dengan kepala daerah sebelumnya. Semakin menarik.
Saya pun semakin menajamkan pendengaran. Sembari menerka. Siapa mereka? Tentunya tanpa sering menoleh melihat wajahnya. Menghindari kecurigaan.
"Wis ta, titenana. Engko mesti podo ae. Ra enek bedane," kata pria berbaju kotak-kotak itu sambil tertawa keras. "Lek wis ngono, aja disalahne engko mobilku tak tulisi dan*** No**."
Kesabaran saya membuahkan hasil. Akhirnya saya tahu siapa pria yang berbicara itu. Hanya berbekal petunjuk kata mobil. Barang kali orang Nganjuk jiga mudah menebak identitasnya.
Mobil sebagai media iklan memang banyak. Tetapi, mobil berisi kritikan untuk kepala daerah hanya satu. Pemiliknya pun sudah diketahui khalayak.
Saya jadi semakin tertarik. Sangat tertarik mendengarkan ceritanya. Apalagi, beberapa saat kemudian datang lagi satu pegawai. Kali ini bahasan mereka berubah. Tentang tender proyek yang terbuka. Mereka mengeluh karena akan ada banyak orang dari luar daerah ikut serta.
Pria berbaju kotak-kotak itu beberapa kali mengumpat. Entah apa maksudnya. Bumi yang beberapa kali mendengar umpatannya terlihat mulai nggak nyaman. Dia melirik saya tanda protes. Nggak suka.
Saya pun merespons dengan kedipan mata mengamininya.
Satu hal yang saya petik dari pembicaraan mereka. Apapun yang kita lakukan, tetap ada orang yang suka dan tidak suka. Acuhkan saja. Tetap kerjakan hal yang kita anggap baik. "Bunda, tadi kenapa orang itu bilang dan***?" Tanya Bumi sambil naik motor.
"Itu tandanya mereka bodoh. Hanya orang-orang bodoh yang berbicara seperti itu. Kalau orang pintar itu sopan," jawabku asal. (05/11/18)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar