Selasa, 26 November 2013

Bahan Bakar Membingungkan

Lega. Seperti halnya para sopir truk, pengusaha jasa, dan pemilik kendaraan berbahan bakar solar, saya turut gembira dengan kebijakan pemerintah menambah pasokan solar ke sejumlah SPBU beberapa hari lalu. Antrean panjang pembeli solar di sejumlah SPBU selama beberapa hari terakhir, langsung sirna. Pasokan solar yang tersedia merata di semua SPBU membuat para pembeli bisa mendapatkan barang dengan mudah. Sehingga, mereka tak perlu lagi harus antre berjam-jam untuk bisa mengisi separo atau bahkan seperempat tangki mereka. Sejak Jumat (26/4) lalu, berapapun solar yang dibeli langsung dilayani. Kegembiraan saya bukan saja karena pemandangan wajah kusut, emosi, dari beberapa sopir truk itu sudah hilang. Tetapi, juga karena membayangkan gairah ekonomi yang selama beberapa hari tersendat akan bergairah kembali. Betapa tidak, sepintas kelangkaan solar hanya dihadapi oleh para sopir truk, pengusaha travel, dan pemilik kendaraan berbahan solar. Ternyata dampaknya terhadap perekonomian sangat luas. Harga buah-buahan dan sayuran menjadi mahal. Sebab, pengiriman barang dari daerah tersendat. Produktivitas petani turun karena penggarapan lahan terhambat. Belum lagi, banyak usaha jasa yang lesu akibat mandeknya angkutan. Omelan, keluh kesah, hingga umpatan setiap hari menjadi pemandangan biasa di televisi. Baik di televisi lokal maupun swasta. Kemarahan mereka bisa dipahami. Sebab, pembatasan kuota solar yang dilakukan oleh badan pengatur hilir minyak dan gas (BPH Migas) memang telah menyulitkan mereka. Teman saya, salah satu distributor oli turut berkeluh kesah dengan pembatasan solar tersebut. Meski tak merasakan langsung, bisnisnya turut terhambat. “Omset lesu. Turun 50 persen. Banyak mobil yang nggak jalan. Nggak melakukan perawatan. Siapa yang butuh oli?” keluhnya dengan nada tanya. Sebelumnya, saya tidak berpikir dampaknya akan sejauh itu. Setelah saya pikir-pikir benar juga. Memang, akan banyak sektor lain yang terganggu hanya dari satu kebijakan ini. Sebagai pihak yang ada di tengah, saya pikir baik pemerintah maupun masyarakat memang tidak bisa disalahkan. Pemerintah mengambil kebijakan pembatasan kuota karena realisasi BBM terus menerus overkuota. Dampaknya, subsidi BBM yang sudah mencapai Rp 300 triliun akan terus membengkak. Sehingga, anggaran pendapatan belanja negara (APBN) akan tersedot untuk subsidi yang mayoritas dinikmati oleh golongan kaya. Masyarakat pun tak bisa disalahkan. Termasuk, para pemilik mobil mewah berbahan bakar solar yang tetap menggunakan bahan bakar solar bersubsidi. Sebab, selama ini memang tak ada aturan khusus yang melarang pemanfaatannya. Apalagi, dalam Perpres No. 15/2012 tentang harga jual eceran dan pengguna jenis bahan bakar minyak tertentu, mereka tak termasuk kelompok terlarang. Maka, jangan heran kalau truk-truk dari perusahaan besar juga tetap menggunakan solar bersubsidi untuk angkutan mereka. Ditambah lagi pemahaman tentang subsidi yang merupakan hak seluruh warga negara. Sehingga, sebagai bagian dari negara Indonesia, mereka pun tetap merasa berhak mendapatkannya. Harga solar bersubsidi Rp 4.500 dengan solar non subsidi 9.150 memang memiliki selisih yang besar. Apalagi, dengan harga solar dex Rp 10.400 per liter. Warga yang sudah terbiasa merasakan nikmatnya subsidi, tentu tak bisa diubah begitu saja kebiasaannya untuk beralih ke BBM non subsidi dengan dilakukan pengurangan kuota. Apalagi, ternyata persediaan solar non subsidi belum merata di setiap SPBU. Sehingga, yang terjadi adalah antrean panjang pencari BBM. Pembatasan kuota yang semula dimaksudkan untuk menghemat subsidi BBM, sebagai opsi menghindari kenaikan harga, ternyata memunculkan masalah baru. Yang paling parah, perekonomian terganggu. Apa yang diinginkan masyarakat? Dengan tegas mereka meminta pemerintah menaikkan harga BBM ketimbang harus melakukan pembatasan. Alasannya, meski harga jauh lebih mahal, para pengusaha akan bisa melakukan penyesuaian dalam beberapa hari. “Kalau disuruh beli non subsidi ya usahanya nggak jalan. Naikkan saja,” kata salah satu pengusaha angkutan kenalan saya. Agaknya harapan masyarakat itu akan terwujud. Sebab, presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah menegaskan akan menaikkan harga BBM. Hanya saja, mereka masih memikirkan apakah akan memberlakukan harga sama. Ataukah memberi harga khusus untuk kendaraan roda dua dan angkutan umum. Belum lagi pemerintah memilih opsi yang mana, Jumat lalu sudah beredar broadcast message (BM) tentang peluang keuntungan yang didapat jika pemerintah memberlakukan dua harga BBM. Meski menggelikan, tetapi isi pesan BM itu sangat masuk akal. Pemilik kendaraan roda dua akan memiliki peluang untuk melakukan penimbunan dan mendapat untung besar jika mau mengisi tangki motornya berulang-ulang. Demikian juga dengan pemilik angkutan umum. Saya jadi teringat perilaku beberapa tentangga pengecer bensin yang mendadak ikut antre solar untuk mencoba meraih untung ditengah kelangkaan solar. Kemudian, dengan menjual kembali Rp 6.500 per liter. Dengan kejadian tersebut, isi BM itu bisa jadi akan benar-benar terwujud jika pemerintah menerapkan dua harga BBM. Terlepas opsi mana yang akan diambil pemerintah dalam menaikkan harga BBM, menurut saya yang lebih penting adalah memberi pemahaman pada masyarakat lebih dulu. Jika tidak, kebijakan pemerintah untuk memberi subsidi pada kelompok masyarakat miskin tak akan tercapai. Sebab, meski sudah ada batasan-batasan, selalu ada saja peluang yang bisa dimanfaatkan. Saya lebih sepakat jika harga BBM diberlakukan pada semua. Tidak ada pengecualian pada pemilik kendaraan roda dua atau angkutan umum. Meski akan berdampak, perlahan mereka, termasuk saya, akan melakukan penyesuaian. Jika harga dua opsi diterapkan, saya yakin yang terjadi adalah kebingungan masyarakat dan berbagai upaya penyelewengan. BBM bukan lagi bahan bakar minyak, tetapi berubah menjadi bahan bakar membingungkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar