Selasa, 26 November 2013

Saatnya Taat pada (Rakyat) Pemegang Mandat

Meski bukan termasuk tim sukses salah satu pasangan calon, saya adalah orang yang ikut dag dig dug menunggu putusan mahkamah konstitusi (MK) Rabu (25/9) lalu. Pemilihan wali kota (pilwali) yang seharusnya sudah memasuki babak final begitu KPU melakukan penetapan pasangan calon wali kota (cawali) terpilih pada 3 September lalu, harus memasuki perpanjangan waktu setelah kubu Samsul Ashar-Sunardi (SAS) mengajukan gugatan ke mahkamah konstitusi 6 September lalu. Ibarat pertandingan sepak bola, perasaan warga kota Kediri memang campur aduk kala itu. Ada yang marah karena merasa jagonya yang sudah menang terancam. Tetapi, ada pula yang menyemai harapan baru. MK sebagai pengadil terakhir diharapkan bisa menerima aduan sebagian pihak yang merasa tercurangi. Maka, setelah proses persidangan selama 14 hari terlalui, warga yang sebelumnya sudah harap-harap cemas menunggu hasil perolehan suara pilwali kembali harus ndredeg pada Rabu lalu. Untuk mengobati rasa penasarannya, berbagai cara pun dilakukan. Mulai dengan menggelar nonton bareng MK TV yang bisa dinikmati dengan cara streaming, hingga kontak langsung dengan beberapa pihak yang mengikuti persidangan langsung. Saya yang Rabu lalu mendapat penugasan peliputan di MK mendadak jadi orang penting. Walaupun persidangan baru dimulai pukul 14.00, puluhan pesan pendek dan blackberry messenger (BBM) yang menanyakan kabar putusan MK sudah mulai masuk sejak pagi. Pun setelah saya beritahu jika sidang baru dimulai pukul 14.00, mereka kembali menanyakan perkembangan kasus di MK sebelum sidang dimulai. Hingga sidang selesai digelar, lebih dari 100 pesan yang menanyakan tentang vonis MK. Penasaran. Begitu rata-rata jawaban mereka ketika dengan nada kesal saya membalas pertanyaan mereka yang berulang kali. Ya, pilwali memang menjadi hajat warga kota Kediri. Tak heran, meski bukan tim sukses atau pendukung fanatik salah satu pasangan calon, mereka tetap penasaran ingin mengetahui hasil akhirnya. Mulai pedagang, politisi, pegawai negeri sipil (PNS) hingga ibu rumah tangga juga memiliki rasa ingin tahu yang sama. Begitu saya beritahu jika MK memutuskan menolak seluruh gugatan yang diajukan SAS, respons yang muncul juga beragam. Ada yang terang-terangan mengaku kecewa, terang-terangan kegirangan, sampai ekspresi balasan yang biasa saja. Pilwali memang sudah menyita energi. Terutama, bagi pihak-pihak yang terkait langsung dengan prosesnya. Rakyat yang tidak terlibat langsung juga ikut repot dengan membahasnya di berbagai forum diskusi. Mulai kelas pos ronda, warung, sampai diskusi semi resmi lainnya. Pilwali telah membuat masyarakat terkotak-kotak. Menjadi kelompok pendukung tertentu. Termasuk para PNS yang berada di balaikota Kediri. Meski secara institusi mereka ditegaskan harus netral, para PNS tentu memiliki pilihan pribadi. Apalagi, mereka memang mempunyai hak pilih dalam pilwali. Selama proses pilwali, para abdi negara yang memang menjadi bawahan langsung kandidat yang terpilih inilah yang paling merasa ewuh pakewuh. Mau ke kanan takut dilirik kiri, mau ke kiri takut diancam kanan. Yang terjadi adalah gerakan saling pantau, saling intai untuk memetakan siapa pendukung siapa. Pilwali sudah berlalu. Tetapi aroma ini masih saja belum hilang. Beberapa PNS yang merasa jagoannya kalah di pilwali langsung nglokro alias tak semangat bekerja. Sebaliknya, PNS yang kandidatnya terpilih langsung bersemangat. Berharap kemenangan kandidat yang didukung akan memiliki korelasi positif dengan karirnya. Kepala daerah yang sesuai konstitusi dipilih melalui jalur politik membuat para PNS sulit steril dari politik. Ketika saya berusaha mendiskusikannya dengan beberapa PNS yang memiliki posisi di pemkot, ada yang memaknainya sebagai bentuk loyalitas pada pimpinan. Menurut pada pimpinan yang memang ditentukan melalui jalur politik. Alangkah indahnya jika para PNS ini tidak hanya loyal pada wali kota atau bupati saja. Tetapi juga loyal pada pemimpin tertinggi. Loyal pada rakyat yang telah memberikan mandat pada para wali kota dan bupati. Loyal pada kepentingan masyarakat dengan bekerja sepenuh hati. Jika para abdi negara ini sudah memutuskan untuk loyal pada pemegang mandat tertinggi, maka tak ada pilihan lain bagi wali kota atau bupati terpilih untuk juga seirama. Sebab, mengingkarinya berarti juga melawan kehendak rakyat. Melawan kemauan pemberi mandat. Kapan hal ini akan terwujud? Jawabannya dimulai ketika para abdi negara berani memulainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar