Selasa, 26 November 2013

Pedekate Kasar Bikin Pemilih Kesasar

Dua bulan lagi warga kota Kediri akan melakukan pesta demokrasi. Tak hanya pemilihan walikota (pilwali), pemilihan gubernur (pilgub) juga dihelat berbarengan pada 29 Agustus nanti. Hajat lima tahunan ini otomatis membuat tensi politik di kota Kediri semakin memanas akhir Juni ini. Apalagi, di kota Kediri ada tujuh pasangan bakal calon wali kota (bacawali) yang hampir dipastikan akan berlaga. Tak heran jika kota Kediri sekarang sudah menjadi hutan baliho. Keberadaan tanaman hijau sudah diganti dengan baliho yang berjajar mulai di jalan-jalan protokol, hingga gang-gang di kampung. Kalaupun ada pohon yang tumbuh di pinggir jalan protokol, mereka tak luput dari sasaran. Harus merelakan tubuhnya untuk dipaku dengan foto kandidat calon. Jika beruntung, tubuhnya hanya akan diikat dengan baliho kandidat yang ditempel di kayu. Saking banyaknya baliho yang terpasang, tak jarang di satu perempatan berjajar lebih dari empat foto kandidat calon. Slogan yang tertera di baliho seolah menjadi ‘perang’ awal bagi para kandidat. Mayoritas kandidat menawarkan perbaikan di kota Kediri. Mulai dari peningkatan kesejahteraan dan fasilitas pendidikan, perbaikan pemerintahan yang bebas korupsi, janji untuk membahagiakan hati rakyat, hingga janji perubahan lainnya. Uniknya, janji-janji pasangan bacawali yang mayoritas memang muluk-muluk itu menjadi peluang bagi bacawali lain. Hingga, ada bacawali yang tak mau bikin janji. Membaca slogan yang ada di baliho-baliho itu tiap hari, bagi saya adalah hiburan tersendiri. Meski saya hampir hafal tempatnya, tetapi selalu saja membuat saya tersenyum melihatnya. Bukan saja karena slogannya yang sudah merupakan simbol perang. Tetapi, juga penempatan baliho yang tak jarang sudah dijadikan ajang perang. Di beberapa kampung, perang baliho ini justru semakin nyata. Hampir di sepanjang jalan terpasang gambar baliho kandidat yang jaraknya antara satu baliho dengan baliho lain hanya sekitar dua meter. Ukurannya pun dibuat sama. Jika ada satu baliho berukuran satu meter X 50 senti meter, baliho lawan dibuat ukuran sama dan dipasang persis di depannya. Demikian juga dengan baliho yang ukurannya lebih besar. Hal itu membuat hujan baliho tak hanya terjadi di jalan-jalan protokol. Tetapi, perkampungan justru mulai banjir baliho. Salah satu fungsi baliho memang untuk memperkenalkan sosok kandidat pada masyarakat. Jika sudah mengenal, harapannya pada pilwali nanti masyarakat akan mencoblosnya. Tapi, apakah harus dipasang sepadat dan serapat itu? Saya pribadi justru merasakan dampak yang sebaliknya. Baliho yang bertumpuk justru menyakitkan mata. Membuat keindahan rumah dengan desain yang beragam itu tertutupi sebagian. Sehingga, mengurangi estetikanya. Dalam hati saya justru dongkol karena lebih terkesan seperti pamer atau show of force. Seolah-olah mereka yang paling berhak dilihat seluruh masyarakat kota Kediri. Baliho memang jadi salah satu media kampanye. Tetapi, masyarakat sekarang tidaklah bodoh. Mengenal saja tidak cukup. Mereka membutuhkan kinerja yang nyata. Terjun langsung ke masyarakat dengan mengatasi permasalahan yang tengah dihadapi pasti akan lebih berkesan dibanding tebar pesona melalui gambar-gambar yang hanya akan merusak pemandangan. Trik-trik black campaign untuk menjatuhkan kandidat lain, meski tak dipungkiri terkadang masih efektif, tetapi menurut saya justru menjadi cermin tim kampanye yang tidak kreatif. Masyarakat hanya disuguhi permainan-permainan kotor antarkandidat yang tidak membawa faedah bagi mereka. Alangkah baiknya jika kampanye para kandidat diwujudkan dalam bentuk program-program yang langsung menyentuh masyarakat secara nyata. Uang miliaran rupiah yang dimiliki kandidat tentu akan sangat berguna bagi masyarakat jika dirupakan dengan pembangunan sarana prasarana bagi masyarakat luas. Tak perlu lagi ada kandidat yang merasa diserang, sakit hati, dan perlu melakukan balasan. Tak perlu lagi pertengkaran antarpendukung kandidat. Sebab, masing-masing kandidat sibuk meraih simpati masyarakat. Tim juga sibuk mengunggulkan kandidat masing-masing dengan adu kreatif membantu masyarakat. Bukan dengan menjelekkan kandidat lain. Bukan dengan meminggirkan kandidat lainnya. Masa pencalonan adalah ujian awal bagi para kandidat. Sekaligus kesempatan bagi mereka untuk menunjukkan miniatur kepemimpinannya kelak. Ibarat pendekatan atau pedekate orang yang hendak pacaran, bukankah kita harus menunjukkan perilaku yang manis dan memikat. Atau, sang pujaan hati akan melarikan diri karena jijik atau ketakutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar