Selasa, 26 November 2013

Merdeka Memilih Menang// Euforia peringatan HUT Kemerdekaan RI mencapai puncaknya kemarin. Selain upacara 17 Agustus yang digelar hampir oleh semua instansi, warga juga berpartisipasi dengan memasang bendera merah putih di depan rumahnya. Belum lagi, umbul-umbul berwarna senada yang kebanyakan dipasang berdampingan dengan bendera. Semarak merah putih pun merata di seluruh wilayah. Geliat peringatan hari kemerdekaan juga menjalar di sosial media. Twitter, facebook, hingga display picture (DP) dan personal message (PM) di blackberry massanger (BBM) juga bernuansa kemerdekaan. Mayoritas memasang foto bendera merah putih di DP-nya. Juga, mengisi pesan kemerdekaan di PM-nya. Meski, tak sedikit juga yang memelesetkannya. Misalnya, warna merah putih diganti dengan rok warna merah berpadu dengan putih mulusnya (maaf) paha. Penerjemahan warna merah putih juga digambarkan gabungan (maaf) bra berwarna merah dan bra berwarna putih. Baik yang dengan serius menyampaikan pesan kemerdekaan, hingga yang iseng memelesetkannya, saya pikir memiliki tujuan yang sama. Untuk memeriahkan HUT kemerdekaan RI. Di lingkungan tempat saya tinggal, kemerdekaan RI diperingati dengan malam tirakatan. Warga yang biasanya asik dengan pekerjaan masing-masing berkumpul bersama. Berdoa, kemudian diakhiri makan bersama seluruh warga. Pemandangan yang tak biasa terlihat. Dari berbagai kejadian tadi, saya melihat HUT kemerdekaan RI seolah mampu ‘menyatukan’ kembali bangsa Indonesia. Masyarakat yang belakangan cenderung abai dengan masalah kebangsaan, mendadak ‘bersatu’ melalui pemasangan bendera, umbul-umbul, menyemarakkan dengan memasang pesan di akun sosial media masing-masing. Tanggal 17 Agustus memang bukan sekadar tanggal. Tanggal itu menjadi simbol kebebasan Indonesia dari penjajah. Meski, setelah itu saya sepakat jika Indonesia memasuki era imperialisme baru. Dijajah di bidang ekonomi, politik, dan bidang lainnya. Sehingga, ketergantungan negara yang kaya akan sumberdaya alam ini pada negara lain sangat tinggi. Saya nggak ingin muluk-muluk membicarakan tentang imperialisme era modern karena memang bukan ahlinya. Diluar itu, secara tidak sadar kita juga masih belum merdeka dari hati nurani kita. Merdeka diterjemahkan beragam. Ada teman saya yang iseng menulis, “Tanah dan air masih beli. Berarti belum merdeka”. Ada juga yang menulis “Merdeka bebas hutang”, dan terjemahan merdeka lainnya. Bagi saya, mendekati ajang pemilihan gubernur (pilgub) dan pemilihan wali kota (pilwali) 29 Agustus nanti, arti merdeka adalah ketika kita sudah bisa menuruti hati nurani kita dalam bertindak. Kecenderungan masyarakat yang mendasarkan pilihan pilkada berdasar materi yang diterima dari kandidat, adalah salah satu bentuk ketidak-merdeka-an. Praktik pragmatis seperti itu, tak ubahnya seperti menggadaikan kemerdekaan kita dalam menilai figur. Kemudian, menutupinya dengan imbalan yang didapat. Dampaknya, mandat yang diterima oleh si calon pun hanyalah mandat semu. Makanya, jangan heran jika ditengah-tengah masa pemerintahan lantas terjadi aksi penolakan besar-besaran. Pada beberapa kasus yang terjadi di daerah, saya melihatnya sebagai dampak yang nyata. Warga yang memang tak sepenuh hati memberikan dukungan pada calon, bisa mencabutnya setiap saat. Maka jangan heran, jika ada kepala daerah yang terpilih dengan prosentase diatas 50 persen tetapi praktiknya tak mempunyai basis massa yang jelas. Sebab, suara yang didapat adalah suara instan dengan membeli. Kemudian, menggantinya barang, uang, atau hal lainnya. Bukan berdasar figur, tawaran program yang tertera dalam visi misi selama lima tahun pemerintahan. Mumpung dalam masa kampanye pilwali dan pemilihan gubernur yang bertepatan dengan HUT Kemerdekaan RI, saya dan Anda semuanya masih memiliki kesempatan untuk merdeka bersama. Merdeka memilih calon dengan mencermati program dan figurnya. Merdeka memilih menang. Menang dari praktik gadai dukungan. Menang menuruti hati nurani. Semoga...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar