Rabu, 25 Maret 2009

Calo

Kata-kata calo selalu didefinisikan dengan hal-hal yang kurang baik. Calo SIM, calo TKI, calo tanah, calo kendaraan, dan calo-calo lainnya. Calo, salah satu pekerjaan yang menjual jasa prinsipnya sama dengan penyedia jasa lainnya. Mereka menyediakan jasa dan mendapat imbalan sejumlah uang.
Meski sama-sama menyediakan jasa, calo tetap dianggap berbeda dengan biro penyedia jasa lainnya. Seorang karyawan biro jasa akan dengan senang hati menyebutkan identitas mereka. Tetapi calo akan melakukan dengan sembunyi-sembunyi. Bahkan, menyembunyikan identitasnya. Boleh jadi hal itu dilakukan karena mereka menyediakan jasa yang sesuai peraturan dilarang. Calo SIM contohnya.
Karena image calo yang jelek itu pula saya langsung tersulut ketika ada salah seorang teman lama berkomentar tentang profesi wartawan. "wartawan itu ibarat calo. memperjual-belikan berita," katanya tentang profesi wartawan.
Aku yang merasa tidak pernah melakukan hal itu, otomatis langsung marah. Entah karena temanku yg terlalu bodoh hingga tidak bisa membedakan calo berita dan wartawan yg benar, ataukah karena memang terlalu banyak wartawan yang melakukan praktik jual berita hingga masyarakat awam menilai demikian. Betapa hinanya..menyedihkan.
Sms yang kuterima dini hari itupun langsung membuat mataku terbelalak. Capek dan ngantuk yang menderaku langsung sirna. Dengan semangat aku langsung menjelaskan perbedaan antara wartawan sungguhan dan calo berita. Perdebatan kecil melalui sms langsung terjadi.
Beruntung temanku yang dungu itu masih kenal sifatku. Pergaulan selama tiga tahun di SMA membuatnya bisa mengerti diriku. Lantas satu kalimat penghibur ku terima. "Meski banyak wartawan yang seperti itu, aku tahu kamu tidak seperti itu," hiburnya.
Kalimat yang menurutnya mungkin menghiburku, justru menghentakku. Aku tidak bisa tidur. Beberapa tayangan film tengah malam ku lahap sambil merenung tentang profesi yang kugeluti sekarang. Sudah sedemikian hinakah wartawan? sudah sedemikian rendahkah wartawan? kenapa hal ini terjadi? siapa yang memulai? bagaimana mengakhiri?
Sepintas kemudian aku membandingkan perkataan temanku dengan situasi di pemkab Kediri sekarang. Aku bisa merasakan kebenaran perkataannya. Disini wartawan dianggap sama, diperlakukan sama. Doyan uang, peminta-minta, bahkan setengah memaksa. Tak heran, pandangan orang terhadap wartawan sama rendahnya dengan peminta-minta.
Bagaimana cara memberitahu mereka bahwa ada yg berbeda?
Mengapa tidak pernah ada yang meronta?
Bagaimana dengan yang sebelumnya?
Ataukah memang sama?BENCI!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar