Kamis, 12 Maret 2009

Pak Rateman yang tak punya teman

Begitu memasuki kantor DPRD Kabupaten Kediri siang itu, aku sangat tersentak. Aku tidak sedang melihat presiden pejabat lainnya. Bukan pula seorang jenderal. Tetapi saya melihat lelaki tua sedang duduk di salah satu kursi ruang tunggu DPRD Kabupaten Kediri. Usianya sekitar 85 tahun.
Ada beberapa hal yang membuat aku langsung tertarik dan memperhatikannya. Selain usianya yang sudah uzur, pak Rateman, demikian yang tertulis di KTP yang dibawa lelaki itu, tampak sangat papa. Baju safari berwarna coklat muda dipadu celana katun berwarna biru muda yang sudah kumal, menggambarkan jelas kalau dua baju itu bukan hasil pembeliannya. Melainkan diberikan seseorang. Rambut dan kumisnya mulai memutih, matanya juga terus menerus berair tanda kalau sudah menderita rabun.
Melihat sang kakek sedang sendirian, aku lantas menghampirinya. "Sedang apa disini pak?" tanyaku dengan suara yang cukup keras (menurut pengalaman, orang setua pak Rateman pendengarannya sudah berkurang). Semula pak Rateman hanya mendongak mendengar pertanyaanku, tapi setelah kuulangi beberapa kali, dia lantas menunjukkan beberapa lembar surat tanah (petok D) yang tak kalah kumal dengan bajunya.
Rupanya, Rateman yang tinggal di Purwoasri, wilayah Kabupaten Kediri paling barat, nekat datang ke kantor wakil rakyat untuk mengadukan ketidakadilan yang dialaminya. Sambil membeberkan beberapa lembar berkas yang berisi surat keterangan desa setempat berikut luas tanahnya, Rateman mengatakan kalau tanahnya direbut tetangganya. "Tanah kula niki dipek tonggo kula (tanah saya itu diminta tetangga saya)," kata Rateman.
Sengketa tanah itu telah terjadi sejak belasan tahun yang lalu. Rateman yang kala itu emosi dan melempar jendela kaca tetangganya dengan batu bahkan sempat dilaporkan ke polisi. Dengan usia yang senja, pengadilan memberikan kelonggaran tahanan luar dan vonis bebas. "kula niki nate diukumne (Saya ini pernah dipenjara)," lanjutnya.
Setelah melalui berbagai hal, Rateman serasa mendapat angin setelah salah seorang anggota DPRD dari daerahnya mengatakan kalau surat tanah petok D miliknya itu surat sah. Rateman bahkan dijanjikan akan didampingi pengurusannya. Mendapat kabar tersebut, Rateman yang 'terluka' langsung bersemangat. Diapun nekat datang ke kantor DPRD dengan naik angkutan umum. Tanpa ditemani anak atau tetangganya. "Anak kula wuta. Bojo kula sampun mati (anak saya buta, istri saya sudah meninggal)," kisahnya sambil menunjukkan KTP istrinya.
Setelah berbasa-basi aku langsung meninggalkan Rateman karena memang hari itu aku ada janji wawancara dengan salah seorang anggota DPRD. Selesai wawancara, aku langsung beralih ke kantor Pemkab yang hanya beberapa puluh meter dari kantor DPRD.
Aku langsung terhenyak begitu sekitar pukul 12.00, ternyata Rateman masih duduk di kursi yang sama dan tetap sendirian. Ternyata, setelah duduk di di kursi itu selama empat jam, tidak ada seorang anggota DPRD pun yang menemuinya. Melihat kasus tanah itu merupakan bidang komisi A, aku langsung memberitahu wakil ketua komisi A. Tapi apa jawabannya, dia justru bilang kalau dirinya tidak mempunyai kewenangan. Melainkan kewenangan ketua komisi.
Mendapat jawaban itu aku langsung marah. Muak. Benci. "wakil rakyat tak berguna!" pikirku.
Menyadari kalau Rateman tidak akan mendapat penyelesaian, aku langsung menghampiri lelaki tua itu. Aku lantas meminta lelaki tua itu pulang ke rumahnya. Sebab, jika tidak segera pulang tidak ada lagi angkutan umum yang lewat. Dengan bercucuran air mata dia lantas mengemasi berkas-berkasnya dan melangkah keluar kantor setelah kuselipkan selembar uang ke sakunya.
Melihat kepergian Rateman, hatiku terasa sangat perih? sebagai wartawan yang ngepos di kantor DPRD, bisa dibilang aku sangat faham dengan mereka....
Apakah itu fungsi wakil rakyat?dimana mereka saat rakyat kecil membutuhkannya?rakyat yang telah menaikkan derajat mereka hingga duduk di kursi empuk DPRD? dalam hati aku terus mengutuk...
Betapa pendidikan sangat penting, betapa pengetahuan sangat berguna bagi seluruh rakyat Indonesia. Sehingga, kapasitas anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD tingkat II bisa jauh lebih baik lagi. Tidak perlu lagi ada Rateman..Rateman lainnya..yang hanya bisa bercucuran air mata saat haknya ditindas..saat hak miliknya dirampas...Indonesiaku..inilah potretmu..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar