Kamis, 19 Maret 2009

Kiai

Kata kiai sudah akrab ditelinga saya sejak kecil. Maklum rumah saya di Blitar, berada sekitar satu kilometer dari pesantren kecil. Pak kiai di pesantren tersebut selalu dipanggil abah oleh warga sekitar. Tak terkecuali saya yang dulu pernah ngaji disana (walaupun sesampainya di pondok selalu tertidur karena ceramahnya panjang).
Dimata penduduk sekitar desa saya, abah'e menjadi panutan. Mulai memilih hari idul fitri, memilih kades, dan pilihan-pilihan lainnya. Jangan heran kalau desa lain belum Iduf Fitri tapi desa saya sudah lebaran karena abah bilang sudah syawal.
Ibu saya yang baru jadi anggota muslimat ikut-ikutan latah. Apapun kata abah'e selalu diikuti. Katanya kalau mengikuti kiai selamat. Belakangan saya mulai risi karena ibu saya ikut-ikutan meminum air dari pesantren setempat yang sepengetahuan saya airnya sangat kotor. Sumurnya juga kurang terawat. Ibu saya nekat meminum air yang katanya mengandung do'a. Pengultusan kiai itu ternyata tak hanya terjadi di desa saya yang memang pedalaman. Tetapi juga di Kediri, kota yang ditumbuhi banyak pesantren.
Seolah terkontaminasi dengan kondisi kota, kiai disini jauh lebih canggih dari abah di desa saya. Kalau abah di desa saya hanya menyampaikan kandidat kades yang didukung melalui pengajian di pondok. Demikian juga saat terjadi pemilihan bupati.
Tapi kiai di Kediri lebih canggih. Mulai mengumpulkan para alumni untuk menghimpun kekuatan sampai membuat woro-woro berupa tausyiah agar santri dan para alumninya memilih kandidat yang dimaksud.
Dengan kegiatan tambahan yang dimiliki, pak kiai menjadi sangat sibuk. Seringkali pergi ke luar kota. Bukan untuk dakwah, tapi untuk konsolidasi! bertemu dengan para kiai untuk menyukseskan kandidat mereka. Pesantren ditinggalkan. Dakwah hanya diisi oleh pengurus pesantren yang seringkali dipanggil gus...gus... atau bahkan diisi oleh kang...dan kang...
The right man on the right place, saya melihat para kiai sudah terlalu jauh keluar dari peranannya. Memasuki ranah politik. Para poliTIKUS juga dengan senang hati menyambut mereka. Sebab kiai mampu memberi kontribusi signifikan bagi mereka..
Tapi sampai berapa lama praktik ini bisa bertahan?berapa lama para santri akan tunduk pada kiainya? termasuk ketika doktrin yang diberikan sang kiai berada diluar ketentuan agama? berapa lama pula masyarakat akan percaya dan mengikutinya?
Ibarat sebuah kurva, sesuatu hal akan mencapai titik kulminasi. Jika sudah tiba pada titik tersebut sudah tidak bisa naik lagi. Tetapi, perlahan-lahan akan turun dan terus turun hingga titik terdasar.
Saya mulai melihat kecenderungan itu. Setidaknya hal tersebut terlihat pada pilgub beberapa waktu lalu. Biasanya, jika seorang kiai memerintahkan untuk memilih kandidat A, maka 100 persen santri akan menurutinya. Tetapi, saat itu hanya sekitar 80 persen santri yang menurut sisanya memilih kandidat lain.
Sesuai kecenderungan kurva, saya yakin jumlah itu akan terus bertambah hingga akhirnya tidak ada sama sekali yang menurut pada kiai. Tentunya diluar ajaran agama yang disampaikan. Apakah saat itu kiai masih dikerubuti para poliTIKUS?apakah masih banyak pejabat yang meminta 'restu'?
Nyuwun duko mbah yai..kembalilah ke pesantren sebelum semua itu terjadi..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar