Hari antikorupsi yang
diperingati serentak Jumat (09/12) lalu menjadi perenungan tersendiri bagi
saya. Bukan karena hari itu media cetak, online, dan televisi menyiarkan berbagai aksi demonstrasi hampir di seluruh
Indonesia. Termasuk, salah satunya di Kediri. Tetapi, saya merasa tersentuh
justru setelah saya menerima pesan yang dikirim salah seorang teman pada Jumat
pagi lalu.
Kurang lebih, bunyi pesan
yang dikirim sekitar pukul 07.00 itu demikian, " Kalau hari buruh, diperingati kaum
buruh. Hari Ibu, diperingati kaum Hawa. Hari
pahlawan, diperingati oleh
bangsa yg masih mau mengenang
pahlawannya. Hari kemerdekaan, hari kartini, hari
aids,hari apa saja pasti diperingati. Pertanyaannya, siapa yg seharusnya
memperingati hari anti Korupsi ? Gimana cara memperingatinya ? Siapa yang di
kenang, siapa yang mengenang, apa yang dikenang? Saya masih Korupsi , apakah saya wajib memperingati
hari anti korupsi ? APAKAH ANDA BUKAN PELAKU TIPIKOR ?".
Sepintas, pesan itu memang
terdengar konyol. Sama seperti pesan humor yang setiap hari saya terima.
Apalagi, pesan yang dikirim oleh teman saya itu bisa jadi juga merupakan forward pesan dari temannya yang lain.
Tetapi, tak ayal kalimat terakhir di pesan teman saya yang juga anggota korps
baju cokelat itu langsung membuat saya merenung. Apakah anda bukan pelaku
tipikor (tindak pidana korupsi)?
Jika klasifikasi korupsi yang
dimaksud adalah mengorupsi anggaran negara, uang rakyat, saya dengan lantang
bisa berkata tidak! Sebab, saya memang bukan pengguna anggaran. Sejauh ini tak
mempunyai kesempatan bermain-main dengan anggaran negara. Uang yang dikumpulkan
dari pembayaran pajak rakyat, juga dari penggalian potensi kekayaan daerah atau
negara.
Dilihat definisinya, korupsi
yang berasal dari bahasa latin corruptio berarti busuk, rusak, menyogok. Secara
harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik yang secara tidak wajar dan
tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya dengan
menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan.
Apakah lingkup korupsi
sesempit itu. Menurut saya tidak, perbuatan orang, bukan pejabat publik
sekalipun, bisa tergolong korupsi.
Misalnya saya. Dulu waktu
masih sekolah sering me-mark-up harga buku agar mendapat uang saku lebih.
Sekarangpun, saya tidak yakin untuk menyebut diri saya bukan koruptor. Minimal
saya masih sering mengorupsi waktu dengan terus menerus mengulur waktu dalam
beraktifitas.
Belum selesai merenung, teman
saya kembali mengirim pesan. "Saya koruptor, makanya saya memilih tidak
memperingati hari antikorupsi. Saya di rumah saja, menonton televisi. Saya
ingin melihat, siapa inspektur upacaranya, pesertanya, apa mereka juga bukan
koruptor?".
Kali ini saya tidak bisa
menahan tawa. Setidaknya, teman saya itu telah berbuat jujur. Mengakui jika
dirinya koruptor. Entah apa yang dikorupsinya. Seolah termotivasi dengan pesan
yang baru saja dikirim teman saya tadi, saya yang semula ingin bermalas-malasan
langsung berangkat mandi dan melakukan peliputan di sejumlah instansi.
Saat melintas di beberapa
jalan protokol, saya melihat banyak spanduk tentang pencegahan korupsi dan
ajakan untuk mencegah tindakan korupsi. Seperti pesan yang dikirim teman saya
tadi. Apa pemasangnya tidak pernah korupsi? Apa orang yang memerintahkan
memasang spanduk itu tidak korupsi? Apakah mereka sudah benar-benar tegas
memberantas korupsi?.
Pertanyaan itu hanya bisa
saya jawab dengan senyum. Kali ini, saya memberi jempol pada teman saya tadi
yang berani mengakui jika dirinya koruptor (meski hanya pada saya). Saya akan
lebih takjub lagi jika teman saya yang juga aparat itu mau dengan tegas
memberantas segala tindak pidana. Termasuk korupsi.
Bukankah kondisi negara kita,
Kota Kediri tercinta ini akan lebih baik lagi jika aparat dan pejabatnya mau
interospeksi diri dan melakukan tugasnya dengan sepenuh hati. Bukan hanya
sekadar memasang spanduk karena kewajiban. Perintah atasan. Tetapi, isi dari
spanduk yang dipasang tak pernah dilakukan. Bahkan ditentang. Apakah saya
koruptor? Saya jawab iya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar