UU Keterbukaan Informasi
Publik yang Belum Bertaji//
Begitu undang-undang (UU)
Keterbukaan Informasi Publik (KIP) No. 14/2008 disahkan empat tahun lalu, saya
termasuk orang yang menyambutnya dengan suka cita. UU itu ibarat lentera yg
menjadi penerang jalan ketika saya membutuhkan informasi dari berbagai
institusi publik.
Undang-undang yang mengusung
semangat transparansi, keterbukaan, itu memberi akses seluas-luasnya bagi
masyarakat, termasuk pers untuk mendapat informasi dari institusi publik.
Termasuk instansi pemerintahan. Menurut UU itu, instansi publik wajib
memberikan informasi kepada masyarakat, termasuk pers. Bagi instansi yang
menutupi informasi publik, bisa diadukan ke komisi informasi publik (KIP), atau
bahkan diproses secara hukum.
Sayangnya, saat ini, masih
saja ada institusi yang menutup erat akses informasi dengan berbagai alasan. Di
antaranya, dengan berlindung pada alasan kerahasiaan instansi. Gilanya lagi,
ada yang beralasan mereka tak bisa memberikan informasi karena taat sumpah, tak
akan membocorkan informasi yang bersifat rahasia. Khawatir akan membuka aib
instansi tempat mereka bekerja. Ada lagi yang mengaku tak bisa memberikan
informasi karena takut dengan atasannya.
Meminjam istilah teman,
alasan segelintir pejabat itu sangat menggelikan. Rupanya, mereka lupa jika
keberadaan mereka untuk mengabdi pada rakyat. Digaji menggunakan uang rakyat.
Jika demikian halnya, bukankah mereka harus mempertanggungjawabkan pekerjaan
mereka pada rakyat?
Sebagai pertanggungjawaban,
bukankah sudah selayaknya tak ada hal yang perlu dirahasiakan dari rakyat?
Sayangnya, banyak pejabat
yang lupa peran dan tanggung jawab mereka. Setelah duduk sejumlah kursi empuk,
mereka lupa siapa yang menggaji mereka. Maka tak heran jika mereka membuat
aturan sendiri, menetapkan kebijakan sendiri. Salah satunya, membatasi akses
informasi di instansinya.
Kondisi ini tentu saja
terlihat aneh ditengah era keterbukaan yang semangatnya terus
didengung-dengungkan oleh semua pihak. Meski, jika dilihat secara seksama,
pemerintah belun sepenuh hati menerapkannya.
Misalnya, dokumen anggaran
pendapatan belanja daerah (APBD). Sebagai salah satu peraturan daerah (perda),
dokumen yang berisi rincian pendapatan dan belanja daerah selama setahun itu
seharusnya disosialisasikan kepada masyarakat. Selain agar masyarakat
mengetahui peruntukkan anggaran mereka, juga sebagai bentuk pertanggungjawaban.
Tetapi, ternyata itu bukanlah
hal yang mudah bagi saya. Bagaimana dengan masyarakat kebanyakan? Saya yakin,
jika disurvei, hanya segelintir warga saja yang tahu atau pernah membaca APBD.
Padahal, seharusnya pemerintah berkewajiban menyosialisasikannya pada
masyarakat.
Kurang transparansinya
pemerintah juga terlihat dari belum ditindaklanjutinya UU Keterbukaan Informasi
Publik. Dalam UU tersebut, daerah diwajibkan membentuk Komisi Informasi Publik
(KIP). Kenyataannya, empat tahun setelah UU tersebut diundangkan, KIP baru ada
di tingkat provinsi. Sedangkan di tingkat kabupaten/kota masih belum dibentuk.
Hal ini otomatis menyulitkan
masyarakat yang ingin mengadukan perilaku pejabat publik yang tak memenuhi
ketentuan dalam undang-undang tersebut. Di banding beberapa daerah lain, Kota
Kediri relatif lebih terbuka terkait penyampaian informasi pada masyarakat. Yang
mengherankan, masih ada saja beberapa
instansi yang membuat kebijakan sendiri terkait penyampaian informasi pada
masyarakat. Entah, apa alasan yang ada dibalik kebijakan tersebut.
Saya lantas teringat
perkataan wali kota Surabaya Tri Risma Harini dalam salah satu acara talk show
di stasiun televisi swasta Rabu (18/4) lalu. Dalam acara tersebut, Risma
membeberkan konsepnya dalam mengatur pemerintahan di Kota Surabaya.
Kala itu, Risma menegaskan
meski dirinya wali kota, tetapi dia menyamakan dirinya sebagai pembantu rakyat.
Makanya, dia tak segan turun ke jalan untuk menangani langsung kesulitan rakyat.
Perbuatannya, sekaligus memberi contoh kepada bawahannya untuk tak segan-segan
turun ke lapangan. Bukannya berada di balik meja setelah mendapat status
pejabat.
Jika Risma saja yang
berstatus wali kota mempunyai semangat yang luar biasa untuk tetap bersahaja,
dekat dengan rakyat, dan terbuka, rasanya malu jika ada pejabat yang statusnya
masih dibawahnya justru bertindak seolah-olah menjadi raja. Lupa pada
rakyatnya, lupa pada pertanggungjawaban pada orang yang menggajinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar