Minggu, 04 November 2012

UU Keterbukaan Informasi Publik yang Belum Bertaji


UU Keterbukaan Informasi Publik yang Belum Bertaji//
Begitu undang-undang (UU) Keterbukaan Informasi Publik (KIP) No. 14/2008 disahkan empat tahun lalu, saya termasuk orang yang menyambutnya dengan suka cita. UU itu ibarat lentera yg menjadi penerang jalan ketika saya membutuhkan informasi dari berbagai institusi publik.
Undang-undang yang mengusung semangat transparansi, keterbukaan, itu memberi akses seluas-luasnya bagi masyarakat, termasuk pers untuk mendapat informasi dari institusi publik. Termasuk instansi pemerintahan. Menurut UU itu, instansi publik wajib memberikan informasi kepada masyarakat, termasuk pers. Bagi instansi yang menutupi informasi publik, bisa diadukan ke komisi informasi publik (KIP), atau bahkan diproses secara hukum.
Sayangnya, saat ini, masih saja ada institusi yang menutup erat akses informasi dengan berbagai alasan. Di antaranya, dengan berlindung pada alasan kerahasiaan instansi. Gilanya lagi, ada yang beralasan mereka tak bisa memberikan informasi karena taat sumpah, tak akan membocorkan informasi yang bersifat rahasia. Khawatir akan membuka aib instansi tempat mereka bekerja. Ada lagi yang mengaku tak bisa memberikan informasi karena takut dengan atasannya.
Meminjam istilah teman, alasan segelintir pejabat itu sangat menggelikan. Rupanya, mereka lupa jika keberadaan mereka untuk mengabdi pada rakyat. Digaji menggunakan uang rakyat. Jika demikian halnya, bukankah mereka harus mempertanggungjawabkan pekerjaan mereka pada rakyat?
Sebagai pertanggungjawaban, bukankah sudah selayaknya tak ada hal yang perlu dirahasiakan dari rakyat?
Sayangnya, banyak pejabat yang lupa peran dan tanggung jawab mereka. Setelah duduk sejumlah kursi empuk, mereka lupa siapa yang menggaji mereka. Maka tak heran jika mereka membuat aturan sendiri, menetapkan kebijakan sendiri. Salah satunya, membatasi akses informasi di instansinya.
Kondisi ini tentu saja terlihat aneh ditengah era keterbukaan yang semangatnya terus didengung-dengungkan oleh semua pihak. Meski, jika dilihat secara seksama, pemerintah belun sepenuh hati menerapkannya.
Misalnya, dokumen anggaran pendapatan belanja daerah (APBD). Sebagai salah satu peraturan daerah (perda), dokumen yang berisi rincian pendapatan dan belanja daerah selama setahun itu seharusnya disosialisasikan kepada masyarakat. Selain agar masyarakat mengetahui peruntukkan anggaran mereka, juga sebagai bentuk pertanggungjawaban.
Tetapi, ternyata itu bukanlah hal yang mudah bagi saya. Bagaimana dengan masyarakat kebanyakan? Saya yakin, jika disurvei, hanya segelintir warga saja yang tahu atau pernah membaca APBD. Padahal, seharusnya pemerintah berkewajiban menyosialisasikannya pada masyarakat.
Kurang transparansinya pemerintah juga terlihat dari belum ditindaklanjutinya UU Keterbukaan Informasi Publik. Dalam UU tersebut, daerah diwajibkan membentuk Komisi Informasi Publik (KIP). Kenyataannya, empat tahun setelah UU tersebut diundangkan, KIP baru ada di tingkat provinsi. Sedangkan di tingkat kabupaten/kota masih belum dibentuk.
Hal ini otomatis menyulitkan masyarakat yang ingin mengadukan perilaku pejabat publik yang tak memenuhi ketentuan dalam undang-undang tersebut. Di banding beberapa daerah lain, Kota Kediri relatif lebih terbuka terkait penyampaian informasi pada masyarakat. Yang mengherankan,  masih ada saja beberapa instansi yang membuat kebijakan sendiri terkait penyampaian informasi pada masyarakat. Entah, apa alasan yang ada dibalik kebijakan tersebut.
Saya lantas teringat perkataan wali kota Surabaya Tri Risma Harini dalam salah satu acara talk show di stasiun televisi swasta Rabu (18/4) lalu. Dalam acara tersebut, Risma membeberkan konsepnya dalam mengatur pemerintahan di Kota Surabaya.
Kala itu, Risma menegaskan meski dirinya wali kota, tetapi dia menyamakan dirinya sebagai pembantu rakyat. Makanya, dia tak segan turun ke jalan untuk menangani langsung kesulitan rakyat. Perbuatannya, sekaligus memberi contoh kepada bawahannya untuk tak segan-segan turun ke lapangan. Bukannya berada di balik meja setelah mendapat status pejabat.
Jika Risma saja yang berstatus wali kota mempunyai semangat yang luar biasa untuk tetap bersahaja, dekat dengan rakyat, dan terbuka, rasanya malu jika ada pejabat yang statusnya masih dibawahnya justru bertindak seolah-olah menjadi raja. Lupa pada rakyatnya, lupa pada pertanggungjawaban pada orang yang menggajinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar