Minggu, 04 November 2012

Teror Vs Korupsi, Mana yang Lebih Mengerikan?


Jika banyak masyarakat yang merasa senang dengan penembakan dua teroris yang selama beberapa bulan  terakhir menghantui Solo, saya termasuk salah satu di antaranya. Penembakan pos polisi yang terjadi beruntun tersebut secara otomatis membuat saya sebagai masyarakat awam semakin waspada dalam menjaga keamanan diri sendiri.
Bagaimana tidak, teroris tak menjadikan kelompok tertentu sebagai sasaran target. Tetapi, mereka dengan berani menyerang aparat negara yang nyata-nyata sedang bertugas. Sialnya, beberapa operasi yang direncanakan bisa berjalan sukses.
Makanya, jika dua tersangka teroris yang ditembak detasemen khusus (Densus) 88 antiteror di Solo Jumat (31/8) malam lalu memang benar-benar pelaku teror Solo, saya termasuk orang yang lega.
 Setidaknya, polisi bisa mengungkap kasus teror yang belakangan menimbulkan tanda tanya besar di masyarakat terkait motifnya. Selama ini masyarakat memang sering disuguhi tontotan tentang kesuksesan Densus 88 dalam menangkap para terduga teroris.
 Sayangnya, seolah adu cepat dengan gerakan unit khusus ini, sel-sel teroris juga berkembang sedemikian cepat. Hingga, tetap saja ada pelaku teror  yang siap menebar ancaman baru.
Teroris seperti artinya, memang berhasil menebar teror pada masyarakat. Meski aksi mereka menimbulkan keresahan, tetapi ada banyak teror lain yang lebih berbahaya.
 Bagi saya, teror yang paling berbahaya tapi  tak begitu disadari dampaknya adalah korupsi. Seperti halnya teroris, sel teror satu ini telah menyebar luas.
 Jika definisi korupsi hanya dibatasi pada dampak yang menimbulkan kerugian negara, mungkin saya dan kebanyakan anda tak termasuk dalam kategori koruptor. Sebab, tak masuk dalam kelompok orang yang mengelola anggaran negara.
Tetapi, apakah orang yang menikmati uang dari hasil korupsi tidak bisa disebut ikut korupsi atau koruptor? Apalagi, secara nyata mereka tahu jika uang tersebut adalah hasil korupsi? Makanya, pernyataan wakil menteri hukum dan hak azazi manusia (Wamenkumham) Deny Indrayana yang menuai kontroversi terkait pernyataannya jika pengacara koruptor adalah koruptor itu sendiri cukup menggelitik.
Itu mungkin hanya sebagian contoh saja. Bagaimana jika saya atau anda menerima pemberian yang juga hasil korupsi. Bagaimana jika saya atau anda melakukan tindakan yang secara sadar telah merugikan banyak orang?  Apakah saya atau anda juga layak disebut koruptor?
Secara langsung mungkin tidak, tapi secara tidak langsung kita telah ikut menikmati hasil korupsi. Secara otomatis, saya dan anda sekalian telah menumbuh kembangkan budaya korupsi yang memang telah mengakar.
Secara tidak sadar, saya, anda, kita semua, telah terbelenggu pada satu jenis teror ini. Larut di dalamnya, memanfaatkannya.
Memberantas korupsi tidak hanya menjadi pekerjaan rumah (PR) para penegak hukum saja. Mengharapkan korupsi hilang dari negara kita dengan sistem hukum yang sudah terbentuk, bukanlah solusi.
Seperti halnya para teroris yang terus mengembangkan sel-selnya, para koruptor juga selalu mencari celah untuk bisa lepas dari jerat hukum. Baik dengan menyewa pengacara handal, menyuap hakim, atau cara-cara lainnya.
Kita juga tak bisa bergantung pada produk hukum yang ada untuk memberantas korupsi. Sebab, pembuat produk hukum itu sendiri juga punya kepentingan untuk bisa lepas dari jerat korupsi.
Lalu, kepada siapa kita bergantung dalam pemberantasan teror korupsi? Seperti diskusi awak redaksi Radar Kediri Kamis (30/8) lalu, ada salah seorang teman yang saking putus asanya dengan korupsi yang merajalela menyebut pemberantasan korupsi hanya bisa dilakukan dengan mengubah cara pandang kita terhadap korupsi. Jika selama ini korupsi dipersepsikan sebagai hal yang negatif, mindset kita diminta mengubah persepsi korupsi sebagai hal yang positif karena memang semua sudah melakukannya. Apakah memang hanya itu caranya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar