Jika banyak masyarakat yang
merasa senang dengan penembakan dua teroris yang selama beberapa bulan terakhir menghantui Solo, saya termasuk salah
satu di antaranya. Penembakan pos polisi yang terjadi beruntun tersebut secara
otomatis membuat saya sebagai masyarakat awam semakin waspada dalam menjaga
keamanan diri sendiri.
Bagaimana tidak, teroris tak
menjadikan kelompok tertentu sebagai sasaran target. Tetapi, mereka dengan
berani menyerang aparat negara yang nyata-nyata sedang bertugas. Sialnya,
beberapa operasi yang direncanakan bisa berjalan sukses.
Makanya, jika dua tersangka
teroris yang ditembak detasemen khusus (Densus) 88 antiteror di Solo Jumat
(31/8) malam lalu memang benar-benar pelaku teror Solo, saya termasuk orang
yang lega.
Setidaknya, polisi bisa mengungkap kasus teror
yang belakangan menimbulkan tanda tanya besar di masyarakat terkait motifnya. Selama
ini masyarakat memang sering disuguhi tontotan tentang kesuksesan Densus 88
dalam menangkap para terduga teroris.
Sayangnya, seolah adu cepat dengan gerakan
unit khusus ini, sel-sel teroris juga berkembang sedemikian cepat. Hingga,
tetap saja ada pelaku teror yang siap
menebar ancaman baru.
Teroris seperti artinya,
memang berhasil menebar teror pada masyarakat. Meski aksi mereka menimbulkan
keresahan, tetapi ada banyak teror lain yang lebih berbahaya.
Bagi saya, teror yang paling berbahaya tapi tak begitu disadari dampaknya adalah korupsi. Seperti
halnya teroris, sel teror satu ini telah menyebar luas.
Jika definisi korupsi hanya dibatasi pada
dampak yang menimbulkan kerugian negara, mungkin saya dan kebanyakan anda tak
termasuk dalam kategori koruptor. Sebab, tak masuk dalam kelompok orang yang
mengelola anggaran negara.
Tetapi, apakah orang yang
menikmati uang dari hasil korupsi tidak bisa disebut ikut korupsi atau
koruptor? Apalagi, secara nyata mereka tahu jika uang tersebut adalah hasil korupsi?
Makanya, pernyataan wakil menteri hukum dan hak azazi manusia (Wamenkumham)
Deny Indrayana yang menuai kontroversi terkait pernyataannya jika pengacara
koruptor adalah koruptor itu sendiri cukup menggelitik.
Itu mungkin hanya sebagian
contoh saja. Bagaimana jika saya atau anda menerima pemberian yang juga hasil
korupsi. Bagaimana jika saya atau anda melakukan tindakan yang secara sadar
telah merugikan banyak orang? Apakah
saya atau anda juga layak disebut koruptor?
Secara langsung mungkin
tidak, tapi secara tidak langsung kita telah ikut menikmati hasil korupsi.
Secara otomatis, saya dan anda sekalian telah menumbuh kembangkan budaya
korupsi yang memang telah mengakar.
Secara tidak sadar, saya,
anda, kita semua, telah terbelenggu pada satu jenis teror ini. Larut di
dalamnya, memanfaatkannya.
Memberantas korupsi tidak
hanya menjadi pekerjaan rumah (PR) para penegak hukum saja. Mengharapkan
korupsi hilang dari negara kita dengan sistem hukum yang sudah terbentuk,
bukanlah solusi.
Seperti halnya para teroris
yang terus mengembangkan sel-selnya, para koruptor juga selalu mencari celah
untuk bisa lepas dari jerat hukum. Baik dengan menyewa pengacara handal,
menyuap hakim, atau cara-cara lainnya.
Kita juga tak bisa bergantung
pada produk hukum yang ada untuk memberantas korupsi. Sebab, pembuat produk
hukum itu sendiri juga punya kepentingan untuk bisa lepas dari jerat korupsi.
Lalu, kepada siapa kita
bergantung dalam pemberantasan teror korupsi? Seperti diskusi awak redaksi
Radar Kediri Kamis (30/8) lalu, ada salah seorang teman yang saking putus
asanya dengan korupsi yang merajalela menyebut pemberantasan korupsi hanya bisa
dilakukan dengan mengubah cara pandang kita terhadap korupsi. Jika selama ini
korupsi dipersepsikan sebagai hal yang negatif, mindset kita diminta mengubah
persepsi korupsi sebagai hal yang positif karena memang semua sudah
melakukannya. Apakah memang hanya itu caranya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar