Jika
anda pergi ke sejumlah toko emas di Kota Kediri dan berkata mencari ‘ring’,
maka karyawannya akan reflek langsung mencarikan beberapa model cincin yang
lazimnya digunakan untuk tunangan atau lamaran. Kata yang berasal dari bahasa
Inggris ini memang berarti cincin. Tetapi, sejumlah toko emas mengartikannya
sebagai cincin yang nyaris tanpa aksesori tambahan hingga hanya berupa bulatan
melingkar.
Kalaupun
ada motif, hanya berupa goresan pada lingkaran cincin. Sehingga, bentuknya
tetap berupa cincin polos. Jenis ini memang banyak digunakan untuk acara
tunangan atau lamaran. Tapi, saya mendapat arti baru dari kata ‘Ring’ beberapa
minggu lalu. ‘Ring’ yang lazimnya berarti cincin, menjadi arti lain bagi
sejumlah kalangan di Kota Kediri.
Kata
‘Ring’ menjadi begitu sensitif karena sama sekali bukan berarti cincin. ‘Ring’
bagi sejumlah kalangan merepresentasikan kelompok. Belakangan ini, kata ‘Ring’
juga merepresentasikan sebuah gerakan untuk menghimpun dukungan.
Kosa
kata baru itu sebenarnya saya dapat saat sedang iseng makan di sebuah warung
dekat pemkot Kediri. Saat itu, dua pria berseragam PNS dengan santainya
mengatakan tentang munculnya ring-ring baru di pemkot Kediri. Saat itu, saya
memang tak terlalu mendengarkan karena fokus mengisi perut yang sedang lapar.
Saya
pun tak begitu menghiraukan keluhan dua PNS itu yang menyebut keberadaan
ring-ring itu membuat kinerja PNS menjadi tak berarti. Seberapa pun baiknya
kinerja seorang PNS, tak akan berkorelasi dengan karirnya di birokrasi jika tak
masuk ke dalam ring yang dimaksud.
Meski
sepintas perbincangan mereka menarik, saya belum tertarik untuk ikut nimbrung
karena perut saya sedang meminta perhatian khusus. Tetapi, saya baru mengingat
kembali perbincangan dua PNS itu saat beberapa hari lalu bertemu salah seorang
teman yang juga PNS pemkot.
Seperti
halnya dua PNS di warung itu, teman saya mengeluhkan keberadaan ring- ring di
pemkot Kediri yang membuatnya ‘malas’ untuk bekerja. Kurang lebih, teman saya
berkata begini, “Sekarang ini, kalau mau dapat posisi yang enak, naik pangkat,
harus masuk ring Basuki Rahmat. Kalau di luar itu, percuma,” keluhnya.
Meski
mengerti maksudnya, saya yang memang baru beberapa bulan kembali mendapat tugas
liputan di Kota Kediri pura-pura bertanya tentang definisi ‘ring Basuki Rahmat’ yang dia maksud.
Bukannya menjawab artinya, teman saya yang juga salah seorang kepala seksi
(Kasi) di salah satu satuan kerja di Kota Kediri itu kembali nyerocos tentang
korelasi kinerja PNS dengan jabatan yang didapat. “Lihat dia, hari ini memang
masih belum dapat apa-apa. Tapi, lihat saja bulan depan pasti sudah dapat
posisi yang lebih bagus karena masuk ring Basuki Rahmat,” lanjutnya dengan
bersungut.
Masih
menurut teman saya itu, sekarang ini banyak teman-temannya yang sibuk membuat
program yang ujung-ujungnya bisa menyenangkan ring Basuki Rahmat. Harapannya,
dengan cara demikian mereka bisa masuk ‘ring’ yang untuk sementara waktu ini
menjanjikan kesenangan dan kesejahteraan itu.
Untuk
membungkusnya, mereka pun membuat berbagai program yang mengatasnamakan rakyat.
Program yang melibatkan masyarakat banyak. Tetapi, ujung-ujungnya, program itu
mempunyai tujuan terselubung untuk kepentingan mereka sendiri. “Contohnya apa?”
Tanya saya penasaran.
Lagi-lagi,
bukannya menjawab pertanyaan saya, dia malah melanjutkan omelannya. Untuk
melampiaskan kekesalannya, dia dan beberapa PNS yang tak masuk ‘ring’, memilih
untuk bekerja semaunya. Toh, sebagus apapun kinerjanya, sewaktu-waktu dia bisa
digeser ke posisi yang sama sekali jauh dari bidangnya.
PNS,
sesuai tugasnya, seharusnya menjadi abdi negara. Artinya, mengabdikan dirinya
untuk kepentingan rakyat yang memang menjadi tugas negara. Praktiknya, sekarang
telah terjadi pergeseran arti dan tujuan, terutama pada segelintir PNS yang
ingin mencapai tujuannya dengan cara yang instan.
PNS
yang seharusnya mengabdikan diri pada kepentingan rakyat justru terbagi dalam
beberapa ring, atau kotak-kotak sesuai kepentingannya. Jangankan tugas untuk
mengabdikan diri pada rakyatnya. Sebagian justru sibuk menghalalkan segala cara
untuk menyenangkan atasannya.
Kontrol
dari legislatif seolah tak bergigi. Berbagai rekomendasi yang keluar dari
hearing yang dilakukan, hanya berbentuk tumpukan saran yang tak ada
kelanjutannya. Jika sudah demikian, lagi-lagi rakyat yang dirugikan. Sebab,
masing-masing sudah fokus untuk mendahulukan kepentingan masing-masing. Menjadi
abdi keluarga sendiri, abdi partai, abdi kepentingan sendiri, dan abdi-abdi
lainnya.
Makanya,
ketika teman saya tadi tiba-tiba putus asa. Mupus.
Saya pun tak bisa menyalahkannya. Sebab, birokrasi sekarang, memang telah erat
bercampur dengan politik sebagai konsekuensi pucuk pimpinan yang ditentukan
oleh jalur politik. Meski demikian, jika didasari dengan niat tulus untuk
memajukan Kota Kediri, seharusnya tak boleh ada keputusasaan seperti yang
dialami teman saya tadi.
Setelah
berbicara panjang lebar, saya lantas kembali mempertegas identitas ring Basuki
Rahmat yang sejak awal dihujatnya. “Ring Basuki Rahmat kuwi sapa?”. Wajahnya yang semula sumringah, kembali cemberut. “Golek’ono
dewe, dadi wartawan mosok goblok terus. Ra pinter-pinter!” sahutnya sambil
meninggalkan saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar