Minggu, 04 November 2012

PNS, Ring Basuki Rahmat, dan Ring Toko Emas



Jika anda pergi ke sejumlah toko emas di Kota Kediri dan berkata mencari ‘ring’, maka karyawannya akan reflek langsung mencarikan beberapa model cincin yang lazimnya digunakan untuk tunangan atau lamaran. Kata yang berasal dari bahasa Inggris ini memang berarti cincin. Tetapi, sejumlah toko emas mengartikannya sebagai cincin yang nyaris tanpa aksesori tambahan hingga hanya berupa bulatan melingkar.
Kalaupun ada motif, hanya berupa goresan pada lingkaran cincin. Sehingga, bentuknya tetap berupa cincin polos. Jenis ini memang banyak digunakan untuk acara tunangan atau lamaran. Tapi, saya mendapat arti baru dari kata ‘Ring’ beberapa minggu lalu. ‘Ring’ yang lazimnya berarti cincin, menjadi arti lain bagi sejumlah kalangan di Kota Kediri.
Kata ‘Ring’ menjadi begitu sensitif karena sama sekali bukan berarti cincin. ‘Ring’ bagi sejumlah kalangan merepresentasikan kelompok. Belakangan ini, kata ‘Ring’ juga merepresentasikan sebuah gerakan untuk menghimpun dukungan.
Kosa kata baru itu sebenarnya saya dapat saat sedang iseng makan di sebuah warung dekat pemkot Kediri. Saat itu, dua pria berseragam PNS dengan santainya mengatakan tentang munculnya ring-ring baru di pemkot Kediri. Saat itu, saya memang tak terlalu mendengarkan karena fokus mengisi perut yang sedang lapar.
Saya pun tak begitu menghiraukan keluhan dua PNS itu yang menyebut keberadaan ring-ring itu membuat kinerja PNS menjadi tak berarti. Seberapa pun baiknya kinerja seorang PNS, tak akan berkorelasi dengan karirnya di birokrasi jika tak masuk ke dalam ring yang dimaksud.
Meski sepintas perbincangan mereka menarik, saya belum tertarik untuk ikut nimbrung karena perut saya sedang meminta perhatian khusus. Tetapi, saya baru mengingat kembali perbincangan dua PNS itu saat beberapa hari lalu bertemu salah seorang teman yang juga PNS pemkot.
Seperti halnya dua PNS di warung itu, teman saya mengeluhkan keberadaan ring- ring di pemkot Kediri yang membuatnya ‘malas’ untuk bekerja. Kurang lebih, teman saya berkata begini, “Sekarang ini, kalau mau dapat posisi yang enak, naik pangkat, harus masuk ring Basuki Rahmat. Kalau di luar itu, percuma,” keluhnya.
Meski mengerti maksudnya, saya yang memang baru beberapa bulan kembali mendapat tugas liputan di Kota Kediri pura-pura bertanya tentang definisi  ‘ring Basuki Rahmat’ yang dia maksud. Bukannya menjawab artinya, teman saya yang juga salah seorang kepala seksi (Kasi) di salah satu satuan kerja di Kota Kediri itu kembali nyerocos tentang korelasi kinerja PNS dengan jabatan yang didapat. “Lihat dia, hari ini memang masih belum dapat apa-apa. Tapi, lihat saja bulan depan pasti sudah dapat posisi yang lebih bagus karena masuk ring Basuki Rahmat,” lanjutnya dengan bersungut.
Masih menurut teman saya itu, sekarang ini banyak teman-temannya yang sibuk membuat program yang ujung-ujungnya bisa menyenangkan ring Basuki Rahmat. Harapannya, dengan cara demikian mereka bisa masuk ‘ring’ yang untuk sementara waktu ini menjanjikan kesenangan dan kesejahteraan itu.
Untuk membungkusnya, mereka pun membuat berbagai program yang mengatasnamakan rakyat. Program yang melibatkan masyarakat banyak. Tetapi, ujung-ujungnya, program itu mempunyai tujuan terselubung untuk kepentingan mereka sendiri. “Contohnya apa?” Tanya saya penasaran.
Lagi-lagi, bukannya menjawab pertanyaan saya, dia malah melanjutkan omelannya. Untuk melampiaskan kekesalannya, dia dan beberapa PNS yang tak masuk ‘ring’, memilih untuk bekerja semaunya. Toh, sebagus apapun kinerjanya, sewaktu-waktu dia bisa digeser ke posisi yang sama sekali jauh dari bidangnya.
PNS, sesuai tugasnya, seharusnya menjadi abdi negara. Artinya, mengabdikan dirinya untuk kepentingan rakyat yang memang menjadi tugas negara. Praktiknya, sekarang telah terjadi pergeseran arti dan tujuan, terutama pada segelintir PNS yang ingin mencapai tujuannya dengan cara yang instan.
PNS yang seharusnya mengabdikan diri pada kepentingan rakyat justru terbagi dalam beberapa ring, atau kotak-kotak sesuai kepentingannya. Jangankan tugas untuk mengabdikan diri pada rakyatnya. Sebagian justru sibuk menghalalkan segala cara untuk menyenangkan atasannya.
Kontrol dari legislatif seolah tak bergigi. Berbagai rekomendasi yang keluar dari hearing yang dilakukan, hanya berbentuk tumpukan saran yang tak ada kelanjutannya. Jika sudah demikian, lagi-lagi rakyat yang dirugikan. Sebab, masing-masing sudah fokus untuk mendahulukan kepentingan masing-masing. Menjadi abdi keluarga sendiri, abdi partai, abdi kepentingan sendiri, dan abdi-abdi lainnya.
Makanya, ketika teman saya tadi tiba-tiba putus asa. Mupus. Saya pun tak bisa menyalahkannya. Sebab, birokrasi sekarang, memang telah erat bercampur dengan politik sebagai konsekuensi pucuk pimpinan yang ditentukan oleh jalur politik. Meski demikian, jika didasari dengan niat tulus untuk memajukan Kota Kediri, seharusnya tak boleh ada keputusasaan seperti yang dialami teman saya tadi.
Setelah berbicara panjang lebar, saya lantas kembali mempertegas identitas ring Basuki Rahmat yang sejak awal dihujatnya. “Ring Basuki Rahmat kuwi sapa?”. Wajahnya yang semula sumringah, kembali cemberut. “Golek’ono dewe, dadi wartawan mosok goblok terus. Ra pinter-pinter!” sahutnya sambil meninggalkan saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar