Minggu, 04 November 2012

Black Campaign, antara Peluang dan Jebakan


Perbincangan di salah satu kantin di Kota Kediri  sekitar pukul 10.00 kemarin tiba-tiba menghangat. Itu terjadi saat seorang teman tiba-tiba menunjukkan foto stiker di ponsel yang berisi tulisan "...adalah penghancur Persik".
Komposisi warna stiker itu memang cukup mencolok. Didominasi warna hijau dan merah. Ditambah tulisan yang bernada provokasi, mata yang memandang setidaknya akan berminat untuk melanjutkan membaca. Bagi yang sangat tertarik, akan mengabadikannya. Setidaknya seperti yang dilakukan teman saya itu. 
"Suasanane wis panas. Mulai akeh black campaign (suasananya sudah panas. Mulai banyak yang kampanye hitam)," kata teman itu tersenyum sambil menunjukkan gambar yang baru dijepretnya dengan kamera ponsel.
Berbagai tanggapan langsung muncul setelah foto itu diperlihatkan. Satu teman lainnya langsung menimpali. Dia mengaku sudah melihat stiker itu sejak Jumat (02/11) lalu. Satu teman lainnya justru mengaku melihat pria sedang membagi-bagikan stiker itu.
Saya yang kemarin siang tengah konsentrasi menyantap menu lodeh plus telor dadar sebagai sarapan pagi tak betah untuk tak menimpali. Kantin itu pun langsung berubah jadi forum diskusi tak resmi.
Pemilihan Wali Kota (Pilwali) Kota Kediri baru akan berlangsung 29 Agustus 2013 nanti. Kegiatannya berbarengan dengan pelaksanaan Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jatim. Tetapi, gaduhnya sudah terasa sejak awal 2012.
Peredaran stiker yang dicap sebagai black campaign itu semakin menambah panas cuaca Kota Kediri yang memang belum diguyur hujan deras hingga kemarin.
Black campaign bukan hal baru. Hampir di setiap ajang pemilihan umum (pemilu), selalu ada saja tim yang memilih cara ini untuk mempengaruhi persepsi masyarakat dalam memilih kandidat. Setidaknya, pada pilwali 2008 lalu juga ada salah satu kandidat yang terserang black campaign.
Entah, black campaign yang mengusung isu korupsi itu efektif atau tidak, tetapi kandidat yang terserang black campaign itu akhirnya tak bisa memenangi pilkada. Sebaliknya, dalam pilkada DKI Jakarta Oktober lalu, pasangan Jokowi-Ahok yang diserang black campaign secara bertubi-tubi nyatanya bisa mengungguli Fauzi Bowo sebagai incumbent.
Ibarat dua sisi mata uang, kampanye hitam memang memberikan peluang untuk mempengaruhi persepsi masyarakat. Apalagi, jika isu yang diangkat menyangkut hajat hidup orang banyak plus dilengkapi dengan data-data yang akurat untuk menyerang lawan.
Tetapi, seringkali black campaign malah berubah menjadi kekuatan bagi pihak lawan karena isu-isu yang dilontarkan kurang mengena. Dampaknya, masyarakat justru menaruh simpati karena menganggap kandidat itu menjadi korban fitnah dan perlakuan yang tidak adil.
Bagaimana dengan isu Persik yang disebut dalam stiker yang marak beredar mulai kemarin? Sebagai kandang Macan Putih, saya yakin tak sedikit warga Kota Kediri yang mencintai klub kebanggaan Kediri ini. Prestasinya yang beberapa tahun lalu sempat moncer hingga terus tenggelam karena alasan minimnya anggaran pasti menjadi perhatian khusus bagi mereka.
Seberapa banyak? Saya tidak bisa menghitung secara pasti. Tetapi, Persik pernah dijadikan ikon dalam pilwali 2008 lalu. Hasilnya, kandidat tersebut juga belum bisa unggul meski hanya kalah tipis.
Bagaimana dengan pilwali 2013 nanti? Sebagai orang yang tak memahami teori politik plus strategi pemenangan, saya memang tak bisa memprediksi. Tetapi, sebagai orang yang selama beberapa tahun terakhir memotret kehidupan masyarakat Kediri dalam berbagai reportase, timbul rasa keprihatinan yang mendalam.
Hiruk pikuk situasi yang terjadi sekarang seolah menunjukkan pilwali yang baru akan digelar Agustus 2013 nanti itu, akan digelar besok. Semua perbincangan di tingkat warung kopi, RT, sampai ke forum resmi pun berujung ke pilwali.
Setiap moment digunakan semua pihak untuk meraup keuntungan masing-masing. Kemasannya juga beragam. Alasannya, aji mumpung menjelang pilwali.
Penggalangan dukungan juga terjadi di mana-mana.
Tak hanya di kalangan masyarakat. Tetapi juga di kalangan birokrasi. Ada seorang teman yang sampai bingung menempatkan diri. Pergi ke kanan kasihan dengan teman. Pindah ke kiri takut tak mendapatkan posisi.
Belum lagi mereka harus berdebar-debar dengan acara rutin mutasi. Pemberitahuan melalui pesan pendek yang terkadang bisa menjungkir balikkan karir mereka.
Dengan berbagai fenomena itu, saya melihat black campaign yang sekarang sudah mulai muncul itu dilakukan karena semakin tingginya tembok yang dibangun sebagai sekat. Bisa jadi, cara itu ditempuh karena cara lain dianggap tak ada cara lain lagi yang paling efektif.
Satu hal yang seharusnya dipahami oleh para kandidat yang hendak maju dalam pilwali. Jangan pernah beranggapan masyarakat itu terlalu bodoh dengan memilih kandidat tertentu hanya karena diberi beras, uang, dan kemudahan lainnya.
Meski perilaku pragmatis tak terelakkan lagi, tetapi masyarakat masih mempunyai nurani. Cara-cara yang santun tentu akan lebih mengundang simpati bagi masyarakat yang masih mempunyai hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar