Judul diatas tentu tidak
bermaksud menyamakan uang dengan para pelacur. Meski saya seringkali mendengar pengakuan
dari para tersangka pelaku kriminal yang langsung membelanjakan uang yang
didapat di tempat pelacuran, judul itu juga tidak bermaksud menyamakan pelacur
dengan uang yang semata-mata hanya benda.
Judul diatas adalah salah
satu petikan ucapan Michael Douglas yang memerankan Gordon Gekko dalam film
Wall Street: Money Never Sleeps. Film yang baru saya tonton beberapa hari lalu
itu memberi kesan yang sangat dalam. Kisah seorang Gordon Gekko, seorang
pialang saham senior di Wall Street yang harus dipenjara puluhan tahun karena
praktik kotor yang dilakukannya di bursa.
Film ini tak hanya
menggambarkan seputar perdagangan saham di Wall Street Amerika. Saya justru
menangkap pesan yang lebih dalam tentang ambisi seseorang untuk menjadi nomor
satu. Yang terbaik. Apalagi ukurannya jika bukan uang.
Gekko yang baru keluar dari
penjara seolah kehilangan segalanya. Pialang saham nomor wahid di Wall Street
tiba-tiba saja menjadi orang yang remeh. Tak dianggap. Bahkan, oleh
kawan-kawannya sesama pialang di Wall Street.
Kondisi yang menyakitkan bagi
orang yang pernah mendapat pujian karena kesuksesan dan kepintarannya. Maka,
diapun melakukan berbagai cara untuk kembali meraih posisinya menjadi yang
terbaik. Termasuk, menipu uang milik putrinya yang disimpan di luar negeri
untuk bisa kembali ke Wall Street.
Gekko pun berhasil. Dia
kembali menjadi pialang yang diperhitungkan di Wall Street. Tentunya, Gekko
juga kembali mendapat uang yang berlimpah. Seperti sebelumnya, Gekko kembali
melakukan praktik pencucian uang melalui bursa untuk mengembalikan uang yang
diambil dari putrinya.
Tak salah jika Gekko bisa
melakukan apapun demi uang. Apalagi, jika dia menyamakan uang dengan pelacur
yang tak pernah tidur. Bayangkan jika anda seharian bersama dengan pelacur yang
tak sedikitpun memejamkan matanya. Tentu anda hanya akan merasakan hal-hal yang
indah.
Praktiknya, meski uang dan
pelacur adalah dua hal yang jauh berbeda. Keduanya memang mempunyai sedikit
persamaan. Salah satunya, sama-sama menawarkan kenikmatan. Dengan uang anda
bisa membeli apapun yang diinginkan. Bisa mewujudkan hal-hal yang semula hanya
dalam bayangan.
Maka, jangan heran jika
banyak orang melakukan praktik apapun untuk mendapatkan uang. Kita pun harus
mahfum jika ada banyak pejabat yang belakangan menghiasai layar televisi karena
tersangkut kasus korupsi. Menghabiskan uang negara untuk kepentingan pribadi.
Apakah praktik tersebut hanya
terjadi di pemerintahan pusat yang memang nilai anggarannya mencapai triliunan
rupiah? Praktik tersebut merata hingga ke daerah. Sejumlah pejabat di
Kabupaten/ Kota ramai-ramai dieksekusi Dijebloskan ke penjara karena putusan perkara
korupsi mereka sudah final.
Mereka dijebloskan ke penjara
bisa jadi karena memang selama persidangan majelis hakim menemukan bukti-bukti yang
cukup terkait keterlibatan mereka dalam kasus korupsi. Tapi, pertanyaannya
apakah mereka hanya melakukan korupsi sendiri? Berapa uang negara yang mereka
pakai?
Dalam beberapa kesempatan,
saya sempat berbincang dengan beberapa pejabat yang tersangkut kasus dugaan
korupsi. Jawaban mereka hampir sama. Rata-rata mereka mengaku tak menghabiskan
uang negara. Apalagi, yang nilainya sama dengan jumlah kerugian negara yang
dituduhkan. "Aku iki mek ra sepiro.
Tapi, ya wis tak lakonane ae (tak seberapa uang yang saya pakai. Tapi ya
sudah, saya jalani saja)," kata salah seorang pejabat yang kini berada di
penjara.
Lalu, siapa yang memakai uang
negara dalam jumlah yang lebih besar? Seolah seragam, beberapa pejabat yang
saya temui kompak menjawab dengan gelengan kepala. Meski demikian, dari mimik
wajah mereka menyiratkan identitas sang pemakai dana besar itu.
Memang, tanpa bukti yang kuat
aparat hukum yang sebenarnya juga mengetahui keterlibatan mereka otomatis tak
bisa menjeratnya dengan pidana. Apalagi, menjebloskan mereka ke penjara.
Praktik tersebut menurut saya tak lepas dari doktrin bawahan yang terlalu
penurut dengan atasannya. Apapun dilakukan untuk memenuhi keinginan atasannya.
Meski, hal yang melanggar hukum sekalipun.
Sistem birokrasi yang
pimpinannya ditentukan secara politis memang membentuk sistem yang seperti itu.
Staf yang dinilai tak loyal (tak mau menuruti kemampuan atasan) akan
tersisihkan. Idealisme tak laku dalam sistem seperti ini. Maka, yang muncul
adalah staf yang harus selalu menuruti kemauan atasannya. Sebab, jika mereka
menolak taruhannya adalah jabatan. Tersisihkan melalui mekanisme yang disebut
mutasi. Terbungkus dalam kedok penyegaran atau turn of duty.
Bagi saya, semuanya tak
terlepas dari uang. Orang cenderung melakukan berbagai cara karena terpikat
dengan kenikmatan yang dijanjikan uang. Memang, uang tak selalu dibelanjakan ke
pelacuran. Tetapi, menurut Gordon Gekko, kenikmatannya hampir sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar