Minggu, 04 November 2012

Uang Adalah Pelacur yang Tak Pernah Tidur


Judul diatas tentu tidak bermaksud menyamakan uang dengan para pelacur. Meski saya seringkali mendengar pengakuan dari para tersangka pelaku kriminal yang langsung membelanjakan uang yang didapat di tempat pelacuran, judul itu juga tidak bermaksud menyamakan pelacur dengan uang yang semata-mata hanya benda.
Judul diatas adalah salah satu petikan ucapan Michael Douglas yang memerankan Gordon Gekko dalam film Wall Street: Money Never Sleeps. Film yang baru saya tonton beberapa hari lalu itu memberi kesan yang sangat dalam. Kisah seorang Gordon Gekko, seorang pialang saham senior di Wall Street yang harus dipenjara puluhan tahun karena praktik kotor yang dilakukannya di bursa.
Film ini tak hanya menggambarkan seputar perdagangan saham di Wall Street Amerika. Saya justru menangkap pesan yang lebih dalam tentang ambisi seseorang untuk menjadi nomor satu. Yang terbaik. Apalagi ukurannya jika bukan uang.
Gekko yang baru keluar dari penjara seolah kehilangan segalanya. Pialang saham nomor wahid di Wall Street tiba-tiba saja menjadi orang yang remeh. Tak dianggap. Bahkan, oleh kawan-kawannya sesama pialang di Wall Street.
Kondisi yang menyakitkan bagi orang yang pernah mendapat pujian karena kesuksesan dan kepintarannya. Maka, diapun melakukan berbagai cara untuk kembali meraih posisinya menjadi yang terbaik. Termasuk, menipu uang milik putrinya yang disimpan di luar negeri untuk bisa kembali ke Wall Street.
Gekko pun berhasil. Dia kembali menjadi pialang yang diperhitungkan di Wall Street. Tentunya, Gekko juga kembali mendapat uang yang berlimpah. Seperti sebelumnya, Gekko kembali melakukan praktik pencucian uang melalui bursa untuk mengembalikan uang yang diambil dari putrinya.
Tak salah jika Gekko bisa melakukan apapun demi uang. Apalagi, jika dia menyamakan uang dengan pelacur yang tak pernah tidur. Bayangkan jika anda seharian bersama dengan pelacur yang tak sedikitpun memejamkan matanya. Tentu anda hanya akan merasakan hal-hal yang indah.
Praktiknya, meski uang dan pelacur adalah dua hal yang jauh berbeda. Keduanya memang mempunyai sedikit persamaan. Salah satunya, sama-sama menawarkan kenikmatan. Dengan uang anda bisa membeli apapun yang diinginkan. Bisa mewujudkan hal-hal yang semula hanya dalam bayangan.
Maka, jangan heran jika banyak orang melakukan praktik apapun untuk mendapatkan uang. Kita pun harus mahfum jika ada banyak pejabat yang belakangan menghiasai layar televisi karena tersangkut kasus korupsi. Menghabiskan uang negara untuk kepentingan pribadi.
Apakah praktik tersebut hanya terjadi di pemerintahan pusat yang memang nilai anggarannya mencapai triliunan rupiah? Praktik tersebut merata hingga ke daerah. Sejumlah pejabat di Kabupaten/ Kota ramai-ramai dieksekusi  Dijebloskan ke penjara karena putusan perkara korupsi mereka sudah final.
Mereka dijebloskan ke penjara bisa jadi karena memang selama persidangan majelis hakim menemukan bukti-bukti yang cukup terkait keterlibatan mereka dalam kasus korupsi. Tapi, pertanyaannya apakah mereka hanya melakukan korupsi sendiri? Berapa uang negara yang mereka pakai?
Dalam beberapa kesempatan, saya sempat berbincang dengan beberapa pejabat yang tersangkut kasus dugaan korupsi. Jawaban mereka hampir sama. Rata-rata mereka mengaku tak menghabiskan uang negara. Apalagi, yang nilainya sama dengan jumlah kerugian negara yang dituduhkan. "Aku iki mek ra sepiro. Tapi, ya wis tak lakonane ae (tak seberapa uang yang saya pakai. Tapi ya sudah, saya jalani saja)," kata salah seorang pejabat yang kini berada di penjara.
Lalu, siapa yang memakai uang negara dalam jumlah yang lebih besar? Seolah seragam, beberapa pejabat yang saya temui kompak menjawab dengan gelengan kepala. Meski demikian, dari mimik wajah mereka menyiratkan identitas sang pemakai dana besar itu.
Memang, tanpa bukti yang kuat aparat hukum yang sebenarnya juga mengetahui keterlibatan mereka otomatis tak bisa menjeratnya dengan pidana. Apalagi, menjebloskan mereka ke penjara. Praktik tersebut menurut saya tak lepas dari doktrin bawahan yang terlalu penurut dengan atasannya. Apapun dilakukan untuk memenuhi keinginan atasannya. Meski, hal yang melanggar hukum sekalipun.
Sistem birokrasi yang pimpinannya ditentukan secara politis memang membentuk sistem yang seperti itu. Staf yang dinilai tak loyal (tak mau menuruti kemampuan atasan) akan tersisihkan. Idealisme tak laku dalam sistem seperti ini. Maka, yang muncul adalah staf yang harus selalu menuruti kemauan atasannya. Sebab, jika mereka menolak taruhannya adalah jabatan. Tersisihkan melalui mekanisme yang disebut mutasi. Terbungkus dalam kedok penyegaran atau turn of duty.
Bagi saya, semuanya tak terlepas dari uang. Orang cenderung melakukan berbagai cara karena terpikat dengan kenikmatan yang dijanjikan uang. Memang, uang tak selalu dibelanjakan ke pelacuran. Tetapi, menurut Gordon Gekko, kenikmatannya hampir sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar