Selama
beberapa hari terakhir, presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali menjadi
bahan perbincangan. Tak hanya media cetak dan elektronik, tetapi masyarakat
juga ramai membicarakan keluhan tentang gaji orang nomor satu di Indonesia itu
yang tak kunjung naik selama tujuh tahun.
Jika dicermati secara mendalam, sebenarnya SBY tak bermaksud meminta kenaikan
gaji dalam curhatnya tersebut. Meski demikian, sebagai kepala negara, tetap
saja pernyataan SBY dipandang tak etis. Sebab, meski gajinya belum naik selama
bertahun-tahun, tetapi jumlah gaji yang mencapai puluhan juta plus berbagai
fasilitas sebagai presiden, tentu jauh berbeda dibanding mayoritas masyarakat Indonesia yang
masih masuk kategori miskin.
Sebagai pemimpin negara, curhat SBY tersebut memang tak selayaknya diungkapkan
di depan publik. Posisi SBY sebagai kepala negara tentu berbeda dengan manajer
atau direktur perusahaan yang kinerjanya dihargai berdasar rupiah yang didapat
melalui gaji.
Seperti halnya janji yang diungkapkan saat kampanye, yakni melakukan pengabdian
kepada bangsa dan negara, tidak sepatutnya SBY membicarakan masalah gaji.
Pengabdian tidak bisa diukur dengan imbalan yang didapat. Apapun bentuknya,
termasuk gaji.
Tetapi, trend itu seolah sudah merambah ke seluruh wilayah. Tak hanya pejabat
tinggi negara, tetapi juga pejabat di daerah. Para
pejabat yang dalam masa kampanye mengobral janji mengabdikan diri untuk rakyat,
praktiknya tak lepas dari sekadar motif ekonomi. Yakni mencari keuntungan yang
sebesar-besarnya untuk diri sendiri, keluarga, dan kelompoknya.
Tak sekadar menyoal masalah gaji, tetapi wujudnya bisa bermacam-macam, Mulai
mencarikan posisi strategis kelompok atau pendukungnya, hingga menguasai
sejumlah sumberdaya yang tujuan akhirnya untuk kesejahteraan sendiri. Slogan
menyejahterakan rakyat yang diucapkan saat kampanye seolah sudah dilupakan.
Di level yang lebih rendah, wabah itu juga sudah mendarah daging. Mereka
berusaha mencari pendapatan setinggi-tingginya dengan jabatan yang diperoleh.
Caranya pun bermacam-macam. Yang sedang ngetrend adalah melalui perjalanan
dinas. Dengan sistem at cost atau berdasar biaya yang dikeluarkan, para
pejabat ini memang tak bisa lagi leluasa mendapatkan cashback seperti
sistem lungsum yang berlaku sebelumnya. Ketentuan ini tak hanya berlaku bagi
para PNS, tetapi juga anggota DPRD.
Tetapi, toh ibarat peribahasa masih banyak jalan menuju Roma, selalu ada saja
peluang atau cara menyiasati aturan tersebut. Para
pejabat yang sejak awal berniat mengabdi untuk rakyat itu tetap saja bisa
menyiasati untuk bisa mendapat keuntungan yang lebih.
Sesuai aturan, hal tersebut memang diperbolehkan alias tidak melanggar. Tetapi,
seperti halnya pernyataan SBY, hal tersebut tentu tidak etis dilakukan ditengah
beban ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat kebanyakan.
Sebagai pejabat yang mendapat gaji dari APBD atau uang rakyat, tentunya akan
lebih bijak jika mereka bisa melakukan penghematan. Kata pengabdian yang sejak
awal mereka ucapkan bisa diwujudkan dengan menyisakan anggaran untuk program
yang bermanfaat bagi masyarakat. Misalnya, kesehatan, pendidikan, dan sektor
pertanian yang masih membutuhkan anggaran lebih besar.
Tetapi, niat pengabdian memang hanya berlaku saat kampanye. Ketika sudah
menjabat, niat itu dengan sendirinya akan berubah. Sebab, untuk mendapatkan
jabatan itu mereka juga harus mengeluarkan uang dalam jumlah yang besar.
Hukum ekonomi pun kembali berbicara. Mereka berusaha mendapatkan keuntungan
melebihi modal yang dikeluarkan untuk mendapatkan jabatan tersebut. Kepentingan
rakyat yang seharusnya diperjuangkan, tak lebih dari komoditas transaksional di
awal. Otomatis, semuanya berakhir ketika sang kandidat sudah mendapatkan
jabatannya.
Jika
demikian, pantaskah mereka disebut abdi negara atau abdi rakyat jika praktiknya
mereka tak mengabdi untuk masyarakat? Lalu, salahkah jika masyarakat yang
terlanjur putus asa bersikap pragmatis dan berusaha mencari keuntungan dari
sedikit peluang yang mereka miliki setiap lima
tahun sekali?
Masyarakat
mungkin memang sudah jengah dengan praktik yang terjadi selama ini. Maka, tak
heran jika mereka juga ikut-ikutan mengoptimalkan satu-satunya peluang yang
dimiliki. Ibarat hukum ekonomi, jumlah permintaan yang melebihi penawaran akan
membuat harga melambung. Itu pula yang mereka lakukan, penawar tertinggi akan
mendapatkan suara dan otomatis akan menang. Lingkaran setan yang menyesatkan
dan menyengsarakan ini belum juga disadari oleh masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar