Minggu, 04 November 2012

Mencari Abdi (Keluarga) Sejati



Selama beberapa hari terakhir, presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali menjadi bahan perbincangan. Tak hanya media cetak dan elektronik, tetapi masyarakat juga ramai membicarakan keluhan  tentang gaji orang nomor satu di Indonesia itu yang tak kunjung naik selama tujuh tahun.
          Jika dicermati secara mendalam, sebenarnya SBY tak bermaksud meminta kenaikan gaji dalam curhatnya tersebut. Meski demikian, sebagai kepala negara, tetap saja pernyataan SBY dipandang tak etis. Sebab, meski gajinya belum naik selama bertahun-tahun, tetapi jumlah gaji yang mencapai puluhan juta plus berbagai fasilitas sebagai presiden, tentu jauh berbeda dibanding mayoritas masyarakat Indonesia yang masih masuk kategori miskin.
          Sebagai pemimpin negara, curhat SBY tersebut memang tak selayaknya diungkapkan di depan publik. Posisi SBY sebagai kepala negara tentu berbeda dengan manajer atau direktur perusahaan yang kinerjanya dihargai berdasar rupiah yang didapat melalui gaji.
          Seperti halnya janji yang diungkapkan saat kampanye, yakni melakukan pengabdian kepada bangsa dan negara, tidak sepatutnya SBY membicarakan masalah gaji. Pengabdian tidak bisa diukur dengan imbalan yang didapat. Apapun bentuknya, termasuk gaji.
          Tetapi, trend itu seolah sudah merambah ke seluruh wilayah. Tak hanya pejabat tinggi negara, tetapi juga pejabat di daerah. Para pejabat yang dalam masa kampanye mengobral janji mengabdikan diri untuk rakyat, praktiknya tak lepas dari sekadar motif ekonomi. Yakni mencari keuntungan yang sebesar-besarnya untuk diri sendiri, keluarga, dan kelompoknya.
          Tak sekadar menyoal masalah gaji, tetapi wujudnya bisa bermacam-macam, Mulai mencarikan posisi strategis kelompok atau pendukungnya, hingga menguasai sejumlah sumberdaya yang tujuan akhirnya untuk kesejahteraan sendiri. Slogan menyejahterakan rakyat yang diucapkan saat kampanye seolah sudah dilupakan.
          Di level yang lebih rendah, wabah itu juga sudah mendarah daging. Mereka berusaha mencari pendapatan setinggi-tingginya dengan jabatan yang diperoleh. Caranya pun bermacam-macam. Yang sedang ngetrend adalah melalui perjalanan dinas. Dengan sistem at cost  atau berdasar biaya yang dikeluarkan, para pejabat ini memang tak bisa lagi leluasa mendapatkan cashback  seperti sistem lungsum yang berlaku sebelumnya. Ketentuan ini tak hanya berlaku bagi para PNS, tetapi juga anggota DPRD.
          Tetapi, toh ibarat peribahasa masih banyak jalan menuju Roma, selalu ada saja peluang atau cara menyiasati aturan tersebut. Para pejabat yang sejak awal berniat mengabdi untuk rakyat itu tetap saja bisa menyiasati untuk bisa mendapat keuntungan yang lebih.
          Sesuai aturan, hal tersebut memang diperbolehkan alias tidak melanggar. Tetapi, seperti halnya pernyataan SBY, hal tersebut tentu tidak etis dilakukan ditengah beban ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat kebanyakan.
          Sebagai pejabat yang mendapat gaji dari APBD atau uang rakyat, tentunya akan lebih bijak jika mereka bisa melakukan penghematan. Kata pengabdian yang sejak awal mereka ucapkan bisa diwujudkan dengan menyisakan anggaran untuk program yang bermanfaat bagi masyarakat. Misalnya, kesehatan, pendidikan, dan sektor pertanian yang masih membutuhkan anggaran lebih besar.
          Tetapi, niat pengabdian memang hanya berlaku saat kampanye. Ketika sudah menjabat, niat itu dengan sendirinya akan berubah. Sebab, untuk mendapatkan jabatan itu mereka juga harus mengeluarkan uang dalam jumlah yang besar.
          Hukum ekonomi pun kembali berbicara. Mereka berusaha mendapatkan keuntungan melebihi modal yang dikeluarkan untuk mendapatkan jabatan tersebut. Kepentingan rakyat yang seharusnya diperjuangkan, tak lebih dari komoditas transaksional di awal. Otomatis, semuanya berakhir ketika sang kandidat sudah mendapatkan jabatannya.
 Jika demikian, pantaskah mereka disebut abdi negara atau abdi rakyat jika praktiknya mereka tak mengabdi untuk masyarakat? Lalu, salahkah jika masyarakat yang terlanjur putus asa bersikap pragmatis dan berusaha mencari keuntungan dari sedikit peluang yang mereka miliki setiap lima tahun sekali?
Masyarakat mungkin memang sudah jengah dengan praktik yang terjadi selama ini. Maka, tak heran jika mereka juga ikut-ikutan mengoptimalkan satu-satunya peluang yang dimiliki. Ibarat hukum ekonomi, jumlah permintaan yang melebihi penawaran akan membuat harga melambung. Itu pula yang mereka lakukan, penawar tertinggi akan mendapatkan suara dan otomatis akan menang. Lingkaran setan yang menyesatkan dan menyengsarakan ini belum juga disadari oleh masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar